Catatan Pribadi Perjalanan Semeru

Catatan perjalanan ini menggunakan sudut pandang saya pribadi. Maklumlah, judulnya juga catatan perjalanan pribadi. Mungkin ada banyak yang kurang sesuai dengan kenyataan dan sedikit berubah, karena tulisan ini dibuat H+2 sehingga banyak yang lupa. Kalo saksi-saksi hidup mau nambahin, monggo wae.

Perjalanan ini dimulai dari keberangkatan menggunakan kereta api Malabar (Malang-Bandung) di stasiun Hall Bandung. Harga tiket saat itu masuk ke harga hari libur, yaitu 135 ribu, padahal normalnya 90 ribu. Kereta meluncur jam 15.30 dan diperkirakan sampai di stasiun kotabaru Malang jam 8 pagi esoknya.

Kereta Malabar sempat di transit di beberapa kota, seperti Tasik dan juga Jogja. Esoknya, kereta tiba lebih cepat setengah jam dari waktu yang diperkirakan, yaitu jam 7.30. Kami pun langsung mengangkat carrier masing-masing yang berukuran berkisar 70-75 L.

Sebelum melanjutkan perjalanan, saya, Saif, Otto, dan Arief sarapan dulu di kaki lima dekat stasiun. Soto Madura seharga 6000, dengan sedikit potongan ayam dan uniknya diberi gajih. Tak lama, perjalanan berlanjut menggunakan angkot berwarna biru ke arah terminal. Ongkosnya 3000 kalo saya tidak salah ingat.

Sebelumnya kami sudah janjian dengan temannya Saif, mas Latif alias Cemara Angin, di terminal itu. Juga dengan kang Jalal, mahasiswa FK 06 yang menunda program P3Dnya untuk nyantri di Pare, Kediri. Setelah beres salat zuhur-ashar dijama’ di masjid terminal dan mencharge hp seharga 2 ribu, kami berangkat ke arah Tumpang menggunakan angkot putih, dengan ongkos seingat saya 5 ribu per orang.

Angkot berhenti di depan Alfamart Tumpang. Sebagian dari kami mencari makan dan menukar 1 kg beras dengan 6 tusuk sate rempelo-ati, sebagian lagi mencari truk sayur yang mau ditumpangi ke arah basecamp pendakian Semeru, Ranu Pani. Salah satu hal yang menyenangkan dari daerah di luar jawa barat adalah harga makanannya yang masih murah. Makan siang didapat dengan harga 4 ribu satunya, plus es campur seharga 2 ribu. Wahh, di Jatinangor mana ada makanan semurah ini.

Negosiasi harga berlangsung sedikit alot, dan akhirnya supir truk sepakat mengangkut kami ke Ranu Pani dengan harga 250 ribu. Sekitar jam setengah empat sore truk pun berangkat, ke arah atas. Perjalanan cukup kami nikmati dengan pemandangan berupa pohon-pohon, hutan, dan perkebunan, meskipun kabut saat itu sedang naik. Semakin ke atas, suhu semakin dingin, dan jari-jari menjadi kaku. Jalan pun makin lama berubah menjadi pasir, menghasilkan debu beterbangan setelah digilas oleh truk yang kami tumpangi.

Kurang lebih jam 5 sore sampailah di basecamp Ranu Pani. Dalam bahasa jawa, “ranu” berarti “danau”. Danau Pani terlihat tidak jauh dari basecamp. Penjaga basecamp ternyata tidak mengizinkan keberangkatan pendakian di atas jam 4 sore, karena itu kami berenam memutuskan untuk bermalam di sana. Hari itu hari sabtu, praktis perjalanan dimulai hari Minggu esoknya.

Menjelang malam, kami menikmati minuman hangat di warung nasi yang ada di sana. Penjaga warung itu, ibu Er namanya, menyambut dengan baik, terutama kepada Saif yang orang Pasuruan, dan mereka mengobrol dengan logat jawa timur yang kental. Ibu Er menceritakan anak pertamanya yang baru saja lulus dengan peringkat terbaik di SMAnya, yang berniat melanjutkan kuliah sastra inggris. Juga tentang anak bungsunya yang bercita-cita menjadi dokter.

“Seneng saya kalo ada orang desa cita-citanya tinggi,” komentar komandan ekspedisi asal Pasuruan kami.

Di warung itu, didapat informasi bahwa ada sepasang calon pengantin sedang mendaki, berencana melangsungkan pernikahan mereka di Puncak Semeru.

“Wahh, jadi inspirasi nih. Kamu mau kayak gitu juga ga If?”

“Wiss. Ya engga lah. Ngapain.” Suara tawa pun menyusul.

Tikar dan sleeping bag digelar di lantai basecamp, dan sekitar jam 9 malam kami semua terlelap. Kurang lebih jam 12 malam terdengar ketukan pintu dan ucapan salam. Sontak saya bangun dan menjawab salam, kemudian seseorang dari basecamp membuka pintu untuk tamu tengah malam itu. Mereka langsung masuk, meletakkan barang-barang, dan menggelar alas tidur seperti yang kami lakukan. Hmm, mereka adalah rombongan yang baru saja turun dari puncak.

Esok paginya, setelah selesai mengurus pendaftaran dan registrasi, jam 8 pagi dimulailah pendakian. Dari Ranu Pani, pos pertama yang akan dituju adalah Ranu Kumbolo. Danau Kumbolo, yang kalau dengar dari cerita kawan yang pernah ke sana dan dari internet, danau itu amat bagus dan orang-orang bisa mancing di sana. Salah satu dari kami membawa tali pancing, hanya saya ragu kalau punya waktu untuk mancing.

Jalur antara Ranu Pani-Ranu Kumbolo cenderung datar dan landai, namun sangat panjang. Jalannya kebanyakan di dalam hutan, dengan di sebelah kiri membentang jurang. Bisa dibilang perjalanan ini sangat dinikmati, karena tidak seperti gunung-gunung sebelumnya yang kami daki, yang cenderung menanjak dari awal perjalanan.

Seperti yang disebutkan, jalannya datar-landai, meskipun ada beberapa spot yang menanjak, dan karena hari masih pagi, pemandangan selama perjalanan terlihat renyah. Antara Ranu Pani-Ranu Kumbolo terdapat 3 pos istirahat berupa saung. Jarak ke pos 1 lumayan jauh, jarak pos 1-pos 2 cukup dekat, dan jarak pos 2-pos 3 jauh amat. Tepat setelah pos 3 ada jalan menanjak. Ketinggian Ranu Pani sekitar 2500 m, sedangkan Ranu Kumbolo 2700 m. Hanya berbeda 200 m dari ketinggian, tapi jalannya berputar-putar dan panjang. Antara pos 3 dan Ranu Kumbolo juga sangat jauh, dan di tengahnya ada papan bertuliskan “Ranu Kumbolo 500 m”. Kami pun bersemangat dan mempercepat langkah. Tapi, sepertinya tulisan 500 m itu hanya untuk menghibur.

Sekitar jam setengah 12, alias 4,5 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tepi danau. Sayang pemandangannya kurang bisa dinikmati karena tertutup kabut. Sesuai cerita-cerita sebelumnya, danau itu sangat luas dan jernih, lebih luas daripada arboretum Unpad dan situ Lembang. Kami istirahat di sana, masak nasi dan lauk, bikin ceremix hangat, dan agenda utama: foto-foto. Benang pancing dikeluarkan dan ada kayu yang sesuai untuk dijadikan pancingan, sayangnya sulit menemukan umpannya.

 Acara makan dan istirahat kami nikmati dengan syahdu, diiringi lagu campursari alias dangdut koplo yang disetel Latif via handphonenya. Saya sedikit kaget mendengar lagu itu, tapi tampaknya ini favorit komandan ekspedisi kami. Judul lagu itu “Alung-Alun Nganjuk”, dan setelah cari di internet, saya dapat liriknya. Ini dia:

 

Lunga tak anti-anti kapan nggonmu bali

Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki

Sumilir angin wates nggugah kangene ati

Apa kowe ora ngerteni

Kowe tak kangeni

 

 

 

Ning alun – alun tak goleki

Terminal stasiun tak ubengi

Senajan setahun tak enteni

Tresnamu sing tak gondheli

Lali tenan to dhik nggonmu janji – janji ?

Disekseni lampu alun – alun iki

Lali tenan to dhik karo aku iki ?

Ning terminal stasiun nggonku nggoleki

“Kasian ya perempuan yang nyanyi lagu ini,” komentar kang Jalal. “Emang maksud lagu ini apa If?” tanya saya. “Tentang cewek yang nunggu di alun-alun.” Lagu ini diulang beberapa kali, dan tampaknya menjadi OST ekspedisi ini. Tapi, apa hubungannya Semeru dengan alun-alun?

Puas istirahat, kelamaan sebenarnya, jam setengah dua perjalanan dilanjutkan. Beberapa menit kemudian, kami bertemu lagi tepi danau dengan banyak tenda terpasang, sisi seberang tempat tadi istirahat. Ohh, jadi di sini tempat campingnya. Pantesan di tempat tadi ga ada tenda satu pun. 500 meter apaan.

Kami langsung lanjut ke pos berikutnya setelah Ranu Kumbolo, yaitu Oro-Oro Ombo. Untuk ke sana, kami mesti melewati jalan menanjak yang disebut dengan “tanjakan cinta”. Hmm, di Unpad ada juga tanjakan cinta, dan diberi nama demikian karena katanya kalau melewati tanjakan itu menggunakan motor, penumpangnya harus berpegangan erat ke pengemudinya supaya ga jatuh. Sedangkan di sini tidak ditemukan motor satu pun, yang ada malah beberapa tugu bertuliskan “in memoriam”, memperingati pendaki yang meninggal/hilang di sana.

Di foto, tanjakannya terlihat pendek, tapi kami cukup ngos-ngosan untuk sampai di atasnya. Selesai istirahat sejenak, kami melanjutkan berjalan, dan ternyata di balik tanjakan itu kami langsung menemukan padang rumput yang luas.

Subhanallah! Luas sekali. Sangat sangat luas, lebih luas dari padang Suryakencana. Dan juga indah! Sangat indah! Mungkin ini yang dimaksud dengan tanjakan cinta, bahwa setelah melewati tanjakan itu kami akan menemunkan cintaNya berupa padang luas nan indah ini.

Saya langsung teringat film-film epic semacam braveheart dan Lord of The Ring yang memamerkan padang luas nan alami. Dikira akan menemukan tempat seperti itu hanya di luar negeri saja, ternyata di sini juga ada.

Oro-oro ombo berarti padang luas. Salah satu spot terindah yang pernah saya kunjungi, sama dengan Suryakencana.

“Ahh! Melihat pemandangan ini ga nyesal saya mengorbankan pertemuan dengan dosen pembimbing. Hahahah.”

Tadinya kami berjalan di atas, lalu kami turun menuju padang itu, terus berjalan mengikuti tanda yang sudah dibuat oleh pendaki sebelumnya berupa plastik berwarna hitam-kuning seperti police line. Jalan pun lanjut menjadi datar, melewat padang hingga bertemu rangkaian pohon-pohon cemara.

Cemoro kandang namanya, atau kandang cemara. Dari sana, kami terus berjalan, yang berubah menjadi cenderung menanjak. Sekitar 3 jam lebih kami berjalan melalui setapak yang datar dan menanjak, menuju pos berikutnya yang juga camping ground kedua setelah Ranu Kumbolo, Kalimati.

Sekitar 1 km sebelum Kalimati, kami bisa melihat gunung Semeru dan puncaknya. Luar biasa. Awalnya di kakinya banyak pohon-pohon, namun beberapa ratus meter setelahnya tidak ada tumbuhan sama sekali. Yang ada hanyalah pasir terus hingga puncak. Wadduh, ini gimana naiknya yak?

Di sana kami juga menemukan pohoh Edelweiss. Berbeda dengan yang ada di Mandalawangi atau Suryakencana yang berwarna putih. Bunga di sini berwarna hijau, menunjukkan masih muda.

Jam 5 sore pos Kalimati terlihat. Di sana cukup banyak yang berkemah. Kami pun menghampiri rombongan yang terdiri dari 3 orang sedang menikmati nasi goreng buatan mereka. Wahh, beda banget sama rombongan saya. Meskipun udah ditulis bahwa mie bukanlah lauk, tetap saja kebanyakan dari kami membeli mie hingga 10 bungkus karena menganggapnya sebagai lauk. Terlihat mereka membawa bumbu-bumbu seperti cabai dan bawang, dan memasaknya di trangia, tidak seperti kami yang masih masak menggunakan misting. Tampaknya mereka adalah pendaki profesional atau yang sudah sangat berpengalaman.

“Dari sini ke Arcopodo berapa jam mas?” tanya komandan kami.

“Satu jam mas. Ngecamp di sini aja mas, khawatir kalau di sana, dingin soalnya. Saya juga mau ke puncak nanti malam. Udah pernah ke sana?”

“Belum.”

“Nanti bareng kita aja mas. Sekitar jam 1 kita mau naik ke puncak.”

Summit attack. Pendakian ke puncak biasanya dilakukan tengah malam atau dini hari dari Kalimati. Sebelum jam 10 pagi pendaki harus sudah turun dari puncak, karena biasanya di atas jam itu semeru mengeluarkan gas beracun.

“Dari mana mas?”

“Dari Unpad.”

“Ohh, kami dari UIN Malang.”

Lalu, salah satu dari mereka, yang tampaknya pemimpin ekspedisi, memperkenalkan diri sambil menyalami kami satu-satu.

“Arae.” Begitu ia menyebut namanya.

“Dari fakultas apa mas?”

“Dari kedokteran,” jawab rombongan kami. “Kedokteran? Apa itu kedokteran?” tanya mereka sambil bercanda.

“Mau rokok mas? Oh, salah. Dokter kan ga boleh ngerokok.”

“Yang ga boleh ngerokok itu pasiennya mas,” jawab kang Jalal. Sontak suara tawa terdengar.

Sebagian dari kami memisahkan diri untuk menimbang-nimbang kemping di sana, sebagian lagi menumpang menghangatkan diri di api unggun buatan romobongan Malang itu. Jam 5 sore angin mulai bertiup dan suhu cukup mendinginkan jemari.

Lalu, tiba-tiba terdengar suara, “Kamu angkatan berapa?” Terlihat Arae bertanya serius pada teman saya yang mengenakan baju lapangan hitam. “Itu baju punya kamu? Angkatan berapa?”

Baju lapangan yang dikenakan adalah baju PDW 2010, bukan punya dia, tapi teman saya satu lagi yang mengikuti PDW. “Ini bukan punya saya, tapi teman.”

“Mas anggota Wanadri?” tanya kang Jalal. “Iya,” jawabnya. “Angkatan berapa?” tanya saya spontan. “2008,” jawabnya. Saya pun memperkenalkan diri bahwa sempat ikut PDW tapi pulang di medan rawa laut.

Arae pun terlihat mengomel ke teman saya bahwa atribut Wanadri bukan untuk dipamerkan.

“Nanti dilepas ya,” pintanya serius. “Iya,” jawab teman saya.

“Ya sudah, ga usah serius mas. Santai aja,” gaya bicara Arae pun kembali santai.

“2008 berarti Bayu Windu ya mas? Senior saya juga Bayu Windu, Rihan namanya,” tanya saya sambil mendekati api unggun.

“Rihan itu teman seregu saya. Sayang dia ga ngelanjutin pendidikan Wanadrinya.”

“Kalo yang ikut ekspedisi 7 summits udah naik gunung apa aja mas?”

“Udah 5 gunung. Terakhir ngedaki gunung McKinley di Amerika Utara. Pendakian selanjutnya Vinson Massif di Antartica. Everest terakhir. Sekarang mereka lagi refreshing di Batu.”

Kemudian, komandan memanggil kami semua, memutuskan untuk berkemah di Kalimati. Meninggalkan ransel di dalam tenda selama summit attack terlalu riskan, sehingga disepakati bahwa semua barang disembunyikan di balik pepohonan sebelum berangkat.

Kami kemudian mencari spot untuk istirahat dan mendirikan tenda. Agak sulit mencarinya, karena ternyata banyak “ranjau”. Weleh weleh, ada aja yang buang air sembarangan.

Kami membagi tugas. Memasang tenda, masak, dan membuat api unggun. Beberapa jam kemudian, sebelum tidur, kami memindahkan barang-barang penting, seperti minuman dan makanan, dari ransel ke daypack. Jadi, summit attack kami lakukan sambil membawa daypack, ransel ditinggal.

Jam 9 malam kami pun tidur sebisanya, dan jam setengah sebelas kami bangun, beres-beres barang-barang untuk persiapan ke puncak. Tenda dilipat, dan semua barang yang tidak dibawa disimpan di dalam ransel, yang kemudian kami sembunyikan di balik pohon-semak. Cukup lama mempersiapkan itu semua, sehingga baru jam 12 malam kami berangkat.

Malam itu cuacanya sedingin ketika kami tidur, disertai hujan kabut. Tapi alhamdulillah tak lama hujannya berhenti. Awal lajur pendakian berupa hutan. Kurang lebih selama 1,5 jam kami menanjak di dalam hutan yang alasnya berupa pasir. Pendakian ini sangat tidak nyaman, selain karena cuaca yang dingin dan kondisi kami yang lemas serta ngantuk akibat kurang tidur, oksigen pun menipis. Tak jarang saya terbatuk-batuk dan merasa mual. Tapi tidak boleh muntah di sini, yang harus dilakukan hanyalah terus berjalan.

Di tengah perjalanan, kami disusul oleh Arae. Dengan cepat ia terus mendaki tanpa terlihat lelah, sedangkan kami berulang kali istirahat di tengah jalan.

Akhirnya, sekitar jam 1.30-2, hutan telah kami lewati, dan tanjakan berupa pasir sepenuhnya membentang di hadapan. Pasir di sana penuh dengan kerikil-kerikil kecil, sehingga begitu kami melangkah untuk naik, mudah sekali kaki kami terperosok ke bawah. Hal ini terus berulang tiap kali melangkahkan kaki, sehingga dalam sekali langkah kaki hanya naik sedikit. Akibatnya, pendakian ini membutuhkan tenaga berkali lipat dibanding pendakian biasa.

Ranu Kumbolo tingginya 2700 meter, Kalimati 2900 meter, sedangkan puncak Semeru 3672 m. Artinya, saya harus naik sejauh 700 meter dalam summit attack ini dengan jalur menanjak sepenuhnya. Semakin tinggi, oksigen semakin tipis. Langkah kaki di pasir hanya menghasilkan debu-debu berterbangan, ditambah debu-debu yang dihasilkan pendaki lain. Slayer pun dikenakan sebagai masker, tapi pada beberapa waktu dilepas karena membutuhkan udara yang banyak.

Langkah demi langkah diayunkan, tapi tiap langkah hanya menghasilkan jarak yang tidak signifikan akibat pasir dan kerikil yang licin. Tiap beberapa langkah saya berhenti, kelelahan, jantung berdetak dengan kencangnya, otot betis terasa sangat pegal karena harus menahan serodotan akibat licinnya pasir. Saya melihat ke atas, ke puncak sana. Begitu jauh. Jauh. Jauh sekali di atas, dan di antara kaki ini dan puncak hanyalah pasir dan kerikil.

Awan gelap keluar dari moncong puncak. Semeru telah mengeluarkan gasnya. “Ayo cepat! Keburu keluar gas beracunnya. Kita harus segera sampe puncak!” seru sang komandan ekspedisi. Untunglah tidak ada tanda-tanda gas beracun keluar lagi.

Saya pun berhenti sejenak, berdoa, menghadap langit yang luas di atas. Terlihat terang bulan bersinar dengan indahnya. Bulan penuh, dalam cahaya putih jernih bagaikan gula. Bintang-bintang secerah dan bagai semut ini tidak akan pernah ditemukan di kota. Saking terangnya bulan dan bintang, saya tidak membutuhkan senter. Jalan cukup terlihat jelas oleh cahaya mereka. Di kiri-kanan, subhanallah, lautan awan menari dengan tenang. Saya tidak perlu menengadah ke atas untuk melihat awan, tidak, tidak perlu. Mereka ada di bawah, di kiri-kanan saya. Rasanya seperti sedang berada di pesawat terbang.

Awalnya, saya sengaja menunggu teman-teman yang lain untuk naik ke atas. Tapi kemudian sudah tak peduli lagi, saya berjalan mendahului mereka. Terus melangkah, terserodot, melangkah, terserodot, melangkah, terserodot. Saya berhenti, berdiri, mengatur nafas, lalu kembali melangkah, terserodot, melangkah lagi, terserodot lagi. Menengok ke atas, puncak masih jauh. Jauh!

Beberapa kali saya berhenti sejenak, duduk. Terbatuk-batuk, merasakan pasir di dinding mulut sehingga memunculkan refleks ingin muntah. Minum, ambil nafas, lalu melangkah lagi ke atas. Ayolah, semoga bisa salat subuh di puncak.

Tapi tampaknya pupus sudah harapan itu. Perlahan garis merah terlihat di kiri-kanan. Merah saga, sungguh indah untuk disaksikan, tapi saya terlalu enggan untuk berhenti melihat-lihat sekitar.

Kurang lebih 3-4 kali saya tertidur di tengah jalan. Berhenti duduk sebentar saja langsung menghilangkan kesadaran. Di mana teman-teman yang lain? Di bawah? Biarlah, karena yang perlu saya lakukan hanyalah melangkah.

Sudahlah, ga usah dilanjutkan.

Tidak. Saya sudah di sini, gila aja kalau kembali sekarang.

Capek, pusing, mual. Mau muntah. Oksigen tipis. Cukup, mau turun saja.

Orang-orang pasti kan kecewa. Banyak yang terlanjur tau perjalanan ini. Tidak, saya tidak mau mengecewakan mereka.

 Lalu, matahari pun meninggi, meradiasikan teriknya ke para pendaki. Mana puncak? Aahh, kaga peduli!! Tidak mengerti apa itu Mahameru, yang saya pahami hanyalah terus berjalan.

Yah, betul sekali. Ini bukan soal mengalahkan puncak, tapi mengalahkan diri sendiri, bukan?

Ketika duduk, terlihat pendaki lain menyusul. Awalnya, cara saya mendaki adalah dengan memiringkan sepatu, sehingga mudah untuk mengerem ketika terserodot. Tapi, mereka yang melangkah dengan cepat ternyata punya cara yang lebih efektif, yaitu dengan mencangkulkan ujung sepatu ke dalam pasir, lalu naik. Kaki mereka tidak tergelincir, karen pasir hanya menopang ujung depan sepatu mereka.

Ohh, begitu toh caranya. Saya pun mengikuti, dan lumayan efektif. Satu kaki, dua kaki, tiga kaki diangkat, lalu berhenti sejenak untuk mengambil nafas dengan perlahan agar tidak menghirup debu. Melihat ke belakang dan ke depan, ternyata pendaki lain pun banyak yang demikian. Beberapa langkah, lalu berhenti, lanjut berjalan, berhenti lagi. Begitu terus.

Pusing. Pening. Mual. Pegal. Sakit dada.

“Ayo mas, sedikit lagi,” sahut pendaki perempuan di atas.

“Puncak, mas, mbak?”

“Iya mas, udah puncak.”

Ketika mendekat puncak, ada bagian jalan yang terlihat diukir seperti membentuk arca. Hmm, apa hanya perasaan saya saja?

Satu langkah kaki terakhir saya daratkan, dan yah, apa yang terlihat bukan lagi tanjakan pasir beserta kerikil edan, tapi bentangan pasir datar.

Puncak? Sudah di puncak? Saya berada di puncak Semeru? Beneran nih?

Tidak seperti ketika berada di puncak gunung-gunung lain, saat itu saya masih linglung, melangkah dengan lemas. Tidak ada apa-apa di sana, hanyalah pasir, kerikil, dan batu yang sudah sangat muak untuk dilihat. Banyak orang-orang di sana, asik mengobrol dan berfoto. Mungkin mereka sudah sampai dari subuh, sehingga saya agak malu berada di sana, terlebih sendirian karena teman-teman rombongan masih di bawah.

“Allahu akbar…” bukannya takbir dengan keras, hanya suara pelan yang terdengar tertiup angin.

Di sana, saya melihat Arae sedang cengar-cengir. “Mas, ada kompas?” tanya saya, mengingat belum salat subuh.

“Mau salat ya?” tanyanya. “Ya,” jawab saya menahan malu.

“Jam berapa sekarang mas?” Saya memperkirakan saat itu jam 7 lebih karena matahari bersinar terik.

“Jam setengah 8.”

“Mas sampe puncak jam berapa?”

“Hahah. Jam setengah 5.”

Hahahah. Memang beda kelas. Terhitung saya butuh waktu 7,5 jam untuk sampai puncak, sedangkan ia hanya butuh 4 jam. Ya sudahlah, sudah sangat telat untuk salat subuh. Membentangkan slayer di tempat sujud, saya tayamum, kemudian mulai takbiratul ihram. Meskipun sudah terang, setidaknya keinginan untuk salat subuh di titik tertinggi pulau Jawa tercapai.

Kurang lebih 10 menit kemudian, teman yang pertama muncul di puncak. “Allahu akbar…” katanya pelan, sambil menyalami tangan saya. Ia kemudian sujud syukur, dan berkata, “Kam, bikin minuman untuk teman-teman kita yang masih di bawah.”

Saya berusaha menyalakan kompor, tapi sia-sia. Angin bertiup terlalu kencang membawa debu pasir. Minuman yang bisa disediakan pun hanya susu kental manis yang diencerkan.

Perlahan, teman kedua dan ketiga naik. Badan terasa sangat lelah ketika di puncak, sehingga kami pun memutuskan untuk tidur sambil menunggu yang lain. Sekitar jam 9, saya dibangunkan oleh sorak sorai ketika teman yang terakhir datang.

Sebenarnya sangat tidak nyaman di puncak. Tidak apa-apa di sana, hanya pasir, kerikil, dan debu. Sedikit pergeseran saja membuat debu pasir bertiup masuk ke mata dan hidung.

Fokus saya sedikit teralihkan ke kerumunan dekat rombongan kami. Tak lama, terlihat pasangan dengan pakaian pengantin tradisional keluar dari tenda yang terpasang. Prosesi pernikahan pun dilangsungkan, dipimpin oleh petenda katolik berpakaian putih, dengan orang-orang berkerumun di sekitarnya. Hmm, ini toh penganten yang jadi pembicaraan itu.

Saya berdiri, sedikit merenung ketika melihat ke sekeliling. Ya, ini di puncak. Akhirnya saya berada di titik tertinggi pulau Jawa. Ketika masih di tanjakan pasir, sama sekali tidak terpikir untuk sampai di puncak, tidak berani untuk membayangkan diri berdiri tegak di sini.

Yah, ini bukan urusan mengalahkan puncak tertinggi pulau Jawa, tapi tentang mengalahkan diri sendiri. Satu babak pertarungan telah saya menangkan. Bukan kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan pertarungan ini, tapi kesabaran, karena kesabaranlah yang membuat seseorang menjadi kuat.

Dan, seorang yang sabar adalah orang yang sebenarnya punya keinginan untuk berhenti dan menyerah di tengah jalan, tapi ia tetap maju. Tidak terlalu banyak yang ia pikirkan, karena yang perlu dilakukan hanyalah melangkah dan terus melangkah.

Terima kasih Mahameru. Satu pelajaran kesabaran telah engkau ajarkan kepada kami.

Categories: catatan perjalanan, Foto, narasi | 3 Comments

Post navigation

3 thoughts on “Catatan Pribadi Perjalanan Semeru

  1. rahmatiika

    mantaap! 😀
    *doakan bisa nyusul ke sana, amiin

    Like

    • dyra

      fiuhhh dag dig dug mau kesana nih bulan november ini hiksss. doakan yaa supaya bisa jugaa ,.

      Like

  2. mahameru…

    im coming…..

    at 12 october 2013

    Like

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.