Posts Tagged With: bahagia sederhana

Kebahagiaan yang Sederhana

Tak disangka perjalanan turun ke danau Segara Anak cukup jauh. Awalnya sy berpikir untuk mencapainya dari pelawangan Sembalun cukup berjalan turun menuruni punggungan secara lurus. Tapi ternyata danau itu terletak di sisi yang berlainan. Tidak hanya turun, pendaki pun mesti menyeberangi lembahan-lembahan. Akibatnya, perjalanan terasa jauh karena jaraknya yang panjang.

Kelelahan, seorang teman perjalanan berhenti dan berbicara ke arah sy, “Kang, minta minum.” Setelah dua hingga tiga kali tegukan, ia berujar, “Ahh…di sini air putih aja terasa nikmat ya.”

Yang diminumnya memang hanya air putih—air tawar biasa yang sehari-hari manusia minum dan hampir bisa ditemukan di mana saja—namun baginya kala itu terasa begitu nikmat. Apakah rasanya berbeda? Tidak. Tidak ada yang berbeda, kecuali lokasi dan keadaan saat itu.

Kami tengah berada di padang rumput, tengah perjalanan dari pelawangan Sembalun menuju danau Segara Anak—di alam terbuka. Tidak seperti kota, alam tidaklah memiliki fasilitas yang dapat memanjakan manusia. Semuanya serba alami. Untuk memenuhi kebutuhan atau kesenangan, manusia perlu membawa perlengkapan dan perbekalan sendiri dari rumahnya. Atau, jika membutuhkan sesuatu dari alam—misalnya api unggun untuk menghangatkan tubuh atau bahan makanan ketika dalam kondisi survival—usaha lebih perlu dikerahkan. Tidak seperti di kota yang hampir segala kebutuhan bisa dipenuhi sambil duduk, di alam terbuka manusia harus melawan rasa malas untuk bergerak dan bergerak.

Keadaan kami saat itu bisa dikatakan tengah kelelahan. Itu adalah hari ketiga kami berada di area pendakian gunung Rinjani. Hari pertama merupakan hari yang paling melelahkan, 9 jam mendaki hingga ke pelawangan. Hanya sempat tidur 4 jam, kegiatan dilanjutkan dengan summit attack selama 5 jam. Di hari ketiga ini perjalanan dilanjutkan dengan menuruni lembah menuju danau Segara Anak selama 2,5 jam. Ketika kelelahan dan cairan keluar dari tubuh dalam jumlah banyak, seteguk air pun terasa nikmat.

Memang, saat mendaki gunung, tegukan minuman—apalagi minuman manis—dan snack bisa memicu keluarnya hormone kenyamanan. Seringkali di tengah-tengah pendakian muncul keinginan untuk makan macam-macam—nasi padang, ayam goreng, dan sebagainya—makanan yang sebenarnya kalau tengah berada di kota sifatnya biasa saja. Tapi sedikit minuman manis, atau secuil jilatan coklat, bisa membuatmu bergumam, “Aahh…nikmat”. Tentu saja karena di alam terbuka tidak ada apa-apa. Bisa merasakan sedikit saja sesuatu yang berasa benar-benar menyenangkan.

Salah satu kondisi tersulit yang pernah sy rasakan ialah ketika menjalani Pendidikan Dasar Wanadri (PDW). Pendidikan tersebut bisa disebut “pendidikan militer tanpa senjata”, karena tata tertib dan kedisiplinannya terinspirasi dari pelatihan komando. Beberapa anggota senior Wanadri menjalani pendidikan militer ala komando, dan setelah pulang, beliau-beliau menerapkannya dalam PDW. Tidak hanya itu, pendidikan ini membuat para pesertanya berada di hutan selama 28 hari, sangat jauh dari kenyamanan rumah.

Saat awal-awal pendidikan, siswa tidur di dalam barak, yang tentu saja sangat tidak nyaman dibandingkan dengan kasur rumah. Namun setelah 3 hari, siswa diwajibkan membuat bivak untuk istirahat malam. Saat itu sy berpikir betapa nikmat dan bahagianya jika bisa tidur kembali di dalam barak. Kemudian di hari-hari berikutnya, tahap pendidikan beralih ke bivak solo/mandiri—dan saat itu pula sy bergumam betapa nikmatnya jika bisa tidur dalam bivak regu.

Tahap akhir dari pendidikan adalah survival. Di tahap ini semua siswa hanya boleh makan dari bahan-bahan yang ada di alam. Semua perbekalan makanan termasuk snack disita. Bahan bakar pun diambil, sehingga jika mau masak harus mengeluarkan energi lebih: menebas kayu-kayu kering, mengumpulkannya, dan membuat api unggun. Usaha yang lebih berat lagi mesti dikeluarkan ketika bangun tidur jam 4 pagi; tak ada waktu untuk melamun karena harus segera bergerak mengumpulkan kayu untuk membuat api. Makanan yang dimasak sebenarnya cukup variatif: pakis, bonggol pisang, jantung pisang, begonia, rotan, jika beruntung bisa mendapatkan cacing sondari dan kadal. Pelatih sebebarnya cukup berbaik hati karena memberikan garam sebagai bumbu.

Tentu saja di kala itu semua bayangan makanan keluar. Mulai dari yang mewah seperti nasi padang, nasi goreng, ayam goreng, hingga yang sederhana yang sebenarnya dimasak sehari-hari dalam pendidikan sebelum tahap survival seperti dendeng dan ikan asin. Kala itu, kami membayangkan jika bisa makan ikan asin saja, atau bisa minum seteguk energen, rasanya akan sangat, sangat membahagiakan.

Dan memang betul. H-1 akhir pendidikan, di siang hari, tahap survival ditutup dan semua siswa “buka puasa”. Makanan bebuka diberikan oleh pelatih berupa 1 buah pisang, 1 buah tempe bacem, 1 lontong, dan 1 bungkus energen. Yang pertama dimakan ialah buah pisang…bagaimana rasanya? “Allahu Akbar! Eeeennnnnaaaaakkkkkk…!” Itu adalah makanan terenak yang pernah dirasakan dalam seumur hidup sy. Air mata pun mengalir karena bisa merasakan lezatnya buah pisang. Ya, air mata bahagia.

Saat itu adalah masa-masa yang sangat membahagiakan. Benar-benar membahagiakan, walaupun sederhana.

Apa yang membuat seseorang bisa begitu bahagia? Mungkin kita sudah pernah mendengar kisah seorang pemuda yang bertanya ke seorang kakek yang bijaksana: sang pemuda bingung dengan apa yang sebenarnya paling ia inginkan dalam hidup ini. Ketika kepalanya dicerbukan ke dalam air secara paksa oleh sang kakek, si pemuda merintih dan berontak, namun si kakek tetap mendorong kepalanya ke dalam air. Kepala sang pemuda pun dibebaskan, kemudian ia ditanyai, “Apa yang paling kamu inginkan saat itu?” Sang pemuda menjawab bahwa yang paling ia inginkan adalah udara. Ya, hanya udara. Bernafas ialah kegiatan sederhana yang sehari-hari dilakukan ketika berpikir. Namun bagi manusia yang dalam kondisi sesak, bernafas merupakan hal yang paling mampu membuatnya bahagia.

_476928_0978981001406704454.png

Memangkah kebahagiaan itu bersifat relatif? Karena tidak ada satu pun yang berani memberinya definisi secara mutlak. Andai kebahagiaan itu berada di suatu tempat, tentu sudah tidak ada lagi ruang untuk kita karena para manusia dari berbagai belahan dunia akan berebut untuk mendesakinya. Andai kebahagiaan itu bisa dibeli, tentu ia sudah habis karena diborong oleh orang-orang kaya.

Tapi kebahagiaan itu tidak ada di mana-mana; ia ada di dalam hati dan pikiran setiap manusia. Cara berpikir seseorang terhadap kehidupan akan sangat menentukan apakah ia akan bahagia atau tidak. Hati yang jernih dari kerakusan dan ketamakan adalah sumber energi kebahagiaan terbesar yang dimiliki manusia.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana seseorang yang mampu mensyukuri apa yang dimilikinya.

Alam terbuka mengajarkan kita tentang kebahagiaan yang sederhana. Hanya dengan meneguk air tawar di bawah teriknya matahari dalam kegersangan padang rumput mampu membuatmu bahagia. Hanya dengan berteduh di bawah tenda atau bivak setelah menempuh keletihan dan hawa dingin mampu membuatmu bahagia. Hal-hal yang sangat sederhana seperti itu saja ternyata bisa memunculkan rasa bahagia.

Tentu kondisi di kota berbeda dengan alam terbuka. Memiliki fasilitas yang nyaman merupakan impian setiap orang. Bekerja keras untuk memperoleh materi memang penting, karena harta dapat memberi kebahagiaan, tapi itu semua hanyalah sarana, bukan esensi. Apalah arti kemewahan bagi seorang yang isi pikirannya hanya ingin terus menambah dan menambah kekayaan. Semua yang dimilikinya, yang bagi sebagian orang hanya angan-angan, tidak mampu memberinya apa-apa.

Karena itulah Islam sangat menganjurkan untuk hidup qana’ah atau serba merasa cukup. Selain mencegah jiwa terkotori oleh ketamakan dunia yang takkan pernah habis, hal itu juga akan memberikan rasa tenang dan bahagia.

Hiduplah dengan sederhana, karena dengan hidup sederhana kita akan mudah untuk merasakan kebahagiaan.

 

 

Alam terbuka mengajarkan kita kebahagiaan yang sederhana
Tinggalkanlah dulu kenyamanan dan kemewahan kota
Yang berbagai makanan lezat nan gemerlap terus mendahaga
Tak pernah puas rasa haus ini seberapa banyak pun dihamburkan harta
Tapi ke mana, ke mana kah apa yang disebut-sebut sebagai bahagia?

Bergurulah kepada alam terbuka
Di bawah kegagahan panas mentari yang dipantulkan oleh rel kereta
Di tengah lelah dan letihnya berjalan rendah menyeberangi rawa
Di tepi lemahnya tubuh yang hanya menyantap daun berbumbukan garam tiada selera
Di dalam kondisi tidak menyenangkan itu semua, apa yang bisa membuatmua bahagia?

Hanya seteguk air yang tidak berasa
Air yang mengaliri tenggorokan yang penuh dahaga
Hanya sesederhana itu, di tengah alam terbuka, mampu membuatmu bahagia

11201608_1033329123346132_1174561553870858018_n

Foto PDW 2012

 

Categories: merenung, pembelajaran | Tags: , , , | 1 Comment

Create a free website or blog at WordPress.com.