Monthly Archives: December 2012

Memilih yang Dipaksakan, Memaksakan yang Dipilih

Di tengah-tengah ceramah kuliah, seorang dosen bertanya kepada teman yang sedang diam. “Apa alasan kamu jadi dokter?”

Jika mahasiswa kedokteran diberi pertanyaan seperti ini, jawaban yang umum adalah “ingin menolong orang” atau “ingin mendirikan klinik/rumah sakit gratis” atau “ingin mengubah nasib” atau bahkan “diminta oleh orang tua”. Namun sobat saya ini punya jawaban yang berbeda. Ia menjawab, “Karena tidak diterima di jurusan pilihan pertama.”

Sontak ruangan dipenuhi suara tawa, termasuk suara sang dosen. Tidak umum memang jawaban seperti itu. Siapa yang menafikan profesi dokter yang begitu prestisius dan terhormat? Selain memiliki ilmu yang menakjubkan dan penghasilan yang terjamin, profesi jas putih juga sangatlah bergengsi. Begitu banyak orang yang berlomba-lomba masuk fakultas kedokteran. Tidak sedikit pula yang merelakan ratusan juta demi anaknya bisa menjadi dokter.

Tapi tidak bagi teman saya. Kedokteran bukan keinginan utamanya, melainkan arsitektur. Ia bahkan telah mengikuti 3 macam ujian mandiri, namun ditolak semua. Saat SNMPTN, karena khawatir gagal lagi masuk jurusan kesayangannya, ia memilih kedokteran. Alhasil, fakultas kedokteran Unpad adalah bagian dari jalan hidupnya.

Mungkin kita akan menaikkan alis bila mendengar kisah di atas.Terlepas dari ilmu, penghasilan, dan status sosial yang akan diperoleh di masa depan, dunia arsitektur dan kedokteran sangatlah berbeda. Metode belajar dan cara berpikir untuk menyerap materi-materinya pun amatlah tidak sama.

6a00e554e81be38834011570595133970c-800wiKetika SMA, para siswa umumnya memiliki dua pilihan mayor jurusan yang akan diambil, yaitu “ITB atau kedokteran”. Sepengalaman pribadi, sangatlah sedikit yang mengiriskan kedua pilihan tersebut. Orang yang menulis pilihan 1 kedokteran dan pilihan 2 ITB atau sebaliknya sulit ditemukan. Umumnya siswa yang pilihan pertamanya kedokteran, pilihan keduanya adalah kedokteran di universitas lain, atau jurusan semacam kedokteran gigi, farmasi, atau biologi. Begitu juga dengan yang pilihan pertamanya ITB: pilihan keduanya akan jurusan lain di kampus yang sama, atau jurusan yang sejenis di kampus yang berbeda.

Pemilihan cabang ilmu pengetahuan tentu sangat terkait dengan “minat”. Ada juga faktor-faktor lain yang berpengaruh, yaitu faktor orang tua atau keluarga, orientasi masa depan, dll. “Minat” umumnya lahir dari pertanyaan yang terus bermunculan dalam kepala terhadap mata pelajaran tertentu. Rasa penasaran itu kemudian berbuah menjadi rasa senang dan semangat dalam mempelajarinya. Kenapa bisa muncul rasa penasaran hanya pada subjek materi tertentu? Itu dikarenakan masing-masing memiliki kecenderungan tertentu yang berbeda.

ImageSebuah penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada otak perempuan dan laki-laki yang berpengaruh terhadap cara belajar. Otak wanita cenderung mampu mengingat hal-hal yang detil dan rinci. Sebaliknya, otak laki-laki lebih tangkas dalam mengingat konsep dan gambaran umum.

Tidaklah mengherankan bila hampir seluruh penjuru dunia memiliki kesamaan dalam hal peminat jurusan pendidikan. Kedokteran, biologi, dan semacamnya lebih banyak diminati oleh perempuan, sedangkan teknik, matematika, fisika, dan sejenisnya lebih diminati laki-laki. Hal ini mungkin terlihat di ruang kelas sekolah kita. Sebuah kajian empiris di sekolah Amerika bahkan menelurkan hasil bahwa siswa perempuan lebih terbelakang dalam pelajaran matematika dibandingkan siswa laki-laki.

Apa yang dipelajari di cabang ilmu semacam kedokteran atau biologi, seperti yang sedang saya perlajari sekarang, adalah hal-hal detil. Tak bisa dipungkiri bahwa jika ingin menguasai materi, maka hapalan haruslah kuat. Bahkan di fakultas kedokteran sendiri bisa terlihat beberapa perbedaan antara mahasiswa dan mahasiswi. Ketika menjelaskan patofisiologi (mekanisme penyakit), mahasiswa perempuan akan berkutat pada senyawa-senyawa kimia yang terlibat. Bagi mahasiswa laki-laki, proses perjalanan yang menimbulkan gejala penyakitlah yang lebih dikuasai.

Berbeda dengan dunia teknik, matematika, atau fisika. Hapalan tidaklah terlalu banyak, namun hapalan yang sedikit itu akan diuraikan untuk memecahkan masalah. Di sini, pengusaan konseplah yang dituntut. Ketika membaca soal, mahasiswa laki-laki akan lebih cepat menemukan pemecahan masalah, sedangkan mahasiswa perempuan lebih teliti dalam perhitungan.

Apakah kondisi ini kemudian mengkotak-kotakkan pendidikan antara laki-laki dan perempuan? Toh, kenyataan di lapangan tidak demikian. Tidak sedikit jumlah mahasiswa laki-laki di fakultas kedokteran, begitu pula jumlah mahasiswa perempuan di fakultas teknik. Setiap individu memiliki identitas genetik yang unik dan tidak selalu mengikuti pola di atas. Teman saya yang bermimpi jadi arsitek bisa mengikuti kegiatan perkuliahan di kedokteran dengan lancar. Saya yang lebih senang berhitung ketika sekolah pun bernasib sama.

Ini menandakan bahwa otak memiliki banyak potensi. Tidak sedikit cerita orang yang mengenyam kuliah bukan kesenangannya—karena faktor “paksaan” orang tua dan sebagainya—yang kemudian sukses di jurusan tersebut. Ternyata tubuh ini dapat “dilatih” untuk menyesuaikan diri dengan subjek yang bukan kecenderungannya.

Tentu bukan hanya minat yang menjadi penentu bagi seseorang untuk menentukan pilihan. Ada faktor-faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan, contohnya:

a. ingin membanggakan hati orang tua;

 

b. manfaat yang diperoleh dan bisa diaplikasikan dari ilmu tersebut;

 

c. bagaimana jika menyenangi suatu cabang namun ternyata manfaatnya tidak sebanyak cabang lain?

 

d. masalah ekonomi;

 

e. tuntutan sosial; dsb.

persimpangan-jalan-hidupPenting untuk menghitung prioritas dari faktor-faktor di atas, karena pilihan pendidikan akan sangat menentukan pilihan jalan hidup. Saya mendengar salah seorang kawan orang yang sudah kuliah di kampus favorit, namun ia memutuskan berhenti di tahun ke-5 dengan alasan bukan jalannya. Tahun ke-5! Bayangkan, betapa ia tinggal selangkah lagi menyelesaikan pendidikannya. Berapa pula jutaan rupiah yang dikeluarkan demi lima tahun yang sia-sia tersebut?

Apa pun yang menjadi faktor penentu, kita tidak boleh melupakan alasan utama kita menjalani pendidikan. Seharusnya, ya, seharusnya, kita belajar dikarenakan ada tanda tanya. Setelah mendapat jawabannya di institusi pendidikan, kita akan menjawab, “Oooohh….”

man_question_markNamun, di dunia nyata tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan adalah bagaimana cara agar mendapat nilai A. Pendidikan adalah bagaimana agar hidup berhasil di masa mendatang. Pendidikan adalah bagaimana dapat menghidupi keluarga kelak. Itu adalah fakta yang sebaiknya tidak dibantah demi kebaikan saya, Anda, dan mereka.

Kita tidak pernah boleh berhenti bertanya, baik selama menjalani pendidikan maupun setelahnya. Tanda tanya-tanda tanya itulah yang membuat manusia memiliki peradaban seperti sekarang. Tanpa tanda tanya, manusia akan selamanya di zaman batu: berburu hewan untuk sekedar bertahan hidup tanpa mengerti alasannya. Penulis berpendapat, perbedaan masyarakat negara terbelakang dan negara maju adalah perbedaan jumlah tanda tanya dalam kepala dan usaha untuk menemukan jawabannya.

Jika pada akhirnya pilihan saat ini tidak sesuai minat, misalnya karena alasan manfaat yang bisa dihasilkan, tidaklah perlu khawatir. Adalah karunia Allah menciptakan manusia dengan berbagai potensi. Ia adalah makhluk yang mampu beradaptasi dengan zona tidak nyamannya, jika berusaha. Yang terpenting adalah tidak berhenti bertanya-tanya, dan tidak bosan dengan ucapan “Oooohh….”

Juga, tak lupa kita menuntut ilmu untuk memperoleh rahmat dari Sang Pemilik Ilmu.

“Barangsiapa yang meniti jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju surga” (HR.Muslim)

Categories: gagasan, gajelas | 1 Comment

Create a free website or blog at WordPress.com.