gagasan

Bukan Hanya Tukang Bikin Rujukan

Kita sepatutnya bersyukur bahwa Indonesia sudah memasuki era jaminan sosial nasional sejak 3 tahun yang lalu. Tak ada yang bisa menyangkal manfaat yang dirasakan, terutama jaminan kesehatannya atau biasa dikenal dengan BPJS Kesehatan. Dahulu kelas menengah adalah kaum yang paling menderita ketika jatuh sakit karena mereka tak termasuk kriteria penerima Jamkesmas tapi tak semakmur kelas atas untuk membayar biaya pengobatan yang mahal.

Meskipun demikian, para ahli kesehatan sepakat bahwa masih banyak celah kekurangan yang perlu diisi. Semenjak pertama kali diresmikan, BPJS selalu mengalami kerugian. Adanya skema asuransi kesehatan nasional yang bersifat wajib ternyata makin menambah jumlah kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan (faskes). Jika dulu ketika mendapat batuk pilek atau penyakit ringan lainnya masyarakat cukup membeli obat-obatan berlabel hijau, kini mereka termotivasi untuk mengunjungi dokter. Barangkali karena dengan datang ke puskesmas/klinik mereka bisa mendapatkan obat dengan gratis.

Hal tersebut tentu sah-sah saja, tapi masalah timbul ketika skema asuransi ini dipahami sebagai jalan untuk bisa berobat ke dokter spesialis secara cuma-cuma. Siapa yang tidak senang bisa konsultasi dengan dokter spesialis tanpa mengeluarkan biaya, yang jika menggunakan kocek pribadi harus mengeluarkan uang sebesar 150 ribu-300 ribu? Terlebih jika menghadap spesialis di rumah sakit; mereka bisa mendapat pemeriksaan laboratorium, rontgen, atau penunjang lainnya secara—lagi-lagi—gratis.

Pola pikir seperti itu membuat repot para dokter di faskes tangka pertama; dikira seseorang bisa berobat ke dokter spesialis begitu saja tanpa indikasi medis. Jika orang itu memang mengalami penyakit rumit yang perlu penanganan spesialistik, tak perlu khawatir rujukan tak akan keluar. Juga jika sebelumnya sudah pernah diperiksa oleh dokter spesialis atau dirawat di RS dan pada waktu tertentu harus kontrol kembali. Biasanya sang pasien akan diberi surat keterangan bahwa ia pernah ditobati di RS—yang disebut dengan surat rujukan balik—untuk diberikan ke klinik atau faskes tingkat pertama, yang kemudian klinik itu akan memberikan surat rujukan untuk kembali ke RS. Namun, bagaimana jika pasien meminta rujukan bukan karena pernah ditangani di RS, atau bukan setelah melalui penilaian bahwa ia diindikasi untuk dirujuk, melainkan karena ia merasa harus ditangani oleh dokter spesialis, alias tidak percaya atau meragukan kemampuan dokter umum?

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN telah disusun sedemikian rupa agar tepat sasaran. Masih ingat dengan Kartu Jakarta Sehat (KJS) ketika pertama kali diusung oleh Pak Joko Widodo? Di awal-awal peluncurannya, terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. Dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya harus bekerja ekstra keras hingga lembur untuk melayani ruangan poliklinik dan Instalasi Gawat Darurat yang membludak. Ternyata tidak hanya kasus spesialistik dan gawat darurat yang harus mereka tangani, tapi juga penyakit-penyakit sederhana yang seharusnya bisa ditangani di klinik/puskesmas. Berbondong-bondongnya peserta KJS melompat ke RS kala itu dikarenakan tidak adanya sistem rujukan. Apa akibatnya ketika suatu rumah sakit mengalami penumpukan pasien tak terkendali? Kualitas pelayanan akan menurun dan yang paling dikhawatirkan adalah jika ada pasien dengan kasus spesialistik dan gawat darurat yang terpaksa terpinggirkan.

Tidak heran jika BPJS menerapkan sistem yang begitu ketat. Sebanyak 144 kasus ditekankan oleh lembaga tersebut ke tiap klinik/puskesmas agar bisa segera ditangani di sana tanpa harus dioper. Jika pasien terlalu mudah dirujuk, biaya klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS akan membengkak dan jadilah lembaga ini terus merugi. Pada kenyataannya, merujuk pasien tak bisa dihindarkan. Perlengkapan dan obat-obatan yang kurang selalu menjadi masalah klasik di faskes tingkat 1. Ketika seseorang datang karena asmanya kambuh, sedangkan alat nebulisasi tak tersedia, apakah dokter tega membiarkannya minum obat dalam keadaan sesak? Dana yang disediakan oleh BPJS untuk faskes—alias kapitasi—yang jumlahnya tak seberapa membuat klinik pratama merasa tak mampu melengkapi sarana-prasarananya.

Masalah ini sudah menjadi beban bagi sistem asuransi kesehatan nasional kita, dan harus ditambah seberapa berat lagi dengan sikap pasien yang tak mau memahami ini? Kepala klinik/puskesmas pun harus menjadi korban terguran atau sangsi oleh BPJS karena merujuk tanpa indikasi.

“Saya mau minta rujukan,” barangkali adalah kalimat yang banyak diucapkan oleh pasien ketika baru datang tanpa basa-basi. Begitu keluhannya disampaikan dan ternyata tidak perlu penanganan spesialistik, langsung dijawab, “Saya sudah biasa ke dokter spesialis anu. Kemarin juga saya berobat ke dia.” Kemudian, setelah sang dokter umum bersusah payah menjelaskan penyakitnya dan bahwa pengobatannya tersedia di faskes pertama, dibalas, “Iya, saya tahu, saudara saya juga dokter umum. Ini saya harus ke spesialis!” Sebenarnya, yang mengesalkan dari hal ini adalah orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada dokter umum tersebut enggan langsung ke dokter spesialis karena mengharapkan biaya pengobatannya ditanggung BPJS.

Kurangnya Sikap Respek

Salah satu permasalahan bangsa ini yang kerap dilontarkan oleh kaum intelektual adalah minimnya sikap saling menghargai. Apakah seorang manusia harus dipandang sambil membungkuk penuh keramahan atau mendongak dengan memincingkan mata tergantung dari faktor status sosial dan harta. Senyuman hanya diberikan kepada para bos sedangkan pegawai yang posisinya tidak tinggi diberi muka masam. Fenomena ini secara tak sadar membentuk sistem kasta sosial di negara kita.

Secara umum, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada si kaya dan si miskin tak ada perbedaan. Setiap orang akan mendapat pengobatan semaksimal mungkin dan yang kondisinya lebih gawat akan didahulukan, tanpa memandang keadaan ekonomi atau suku/agamanya. Namun, kita tak dapat membantah bahwa yang kantongnya lebih tebal akan mendapat kamar perawatan yang lebih bersih, harum, dan privat sehingga kondisinya jauh lebih nyaman daripada pasien biasa. Tak perlu ditutup-tutupi pula bahwa pasien-pasien kelas seringnya mendapat perlakuan yang lebih ramah dan senyuman yang lebih lebar. Mungkin para tenaga medis itu melakukannya secara otomatis di luar alam sadar karena telah terbiasa dengan sistem sosial yang ada di masyarakat.

Masalah mental ini juga mengakibatkan tidak adanya sikap penghargaan kepada dokter umum karena hanya ingin dilayani oleh spesialis di RS. Adalah nasib di era JKN ini dokter umum hanya dipandang sebaga tukang bikin rujukan. Apa pun nasihat yang disampaikan oleh dokter umum rasanya terlalu lemah untuk menembus dinding kearoganan yang tebal. Obat yang sudah capek-capek diresepkan harus berakhir di tong sampah karena yang diinginkan hanyalah surat rujukan. Padahal, untuk menjadi dokter umum dibutuhkan pendidikan yang tidak sebentar, ujian yang tidak mudah, dan juga internsip yang tidak ringan.

Atau tak usah ke pelayanan kesehatan. Lihat saja pelayanan publik. Terkadang orang dengan pakaian perlente akan diberi salam, “Selamat pagi, Pak!” dengan penuh hormat oleh petugas di depan. Perlakuan berbeda diberikan kepada orang berpakaian sederhana, yang mungkin akan mendapat pertanyaan dengan nada curiga, “Mau ke mana, Pak?”

Atau katakanlah fenomena yang terjadi belakangan ini. Saat ada orang yang berbeda pilihan politik, langsung saja diberi stigma antikeragaman, antibhinneka, dan kaum radikal. Tidak adanya sikap respek terhadap orang yang berbeda membuat negeri ini terus saja terkotak-kotakkan.

Hal ini barangkali disebabkan kita semua telah terlanjur tertanam mental dijajah. Pemilik darah biru harus merunduk-runduk di depan orang berkulit putih. Yang paling sial adalah yang darahnya merah biasa; mereka harus merunduk-runduk ke bangsawan dan sujud ke penjajah. Akhirnya tumbuh value atau nilai di masyarakat bahwa hanya orang-orang berkedudukan tinggi dan berhartalah yang pantas untuk dihormati.

Cita-Cita Panjang

Pemerintah kita dahulu mencanangkan Visi Indonesia Sehat 2010. Tahun berlalu, kemudian program tersebut berubah menjadi Visi Indonesia Sehat 2015. Pun tahun berlalu, kini muncul Visi Indonesia Sehat 2025.

Kata “sehat” memiliki makna yang luas. Tidak hanya bebas dari penyakit, tapi juga memiliki kondisi jiwa yang tenang sehingga mampu melakukan aktivitas dengan produktif. Hingga kini, tahun 2017, rasanya perjalanan menuju cita-cita itu masih sangat panjang, atau bahkan mungkin tak terhingga? Jumlah penyakit menular masih saja tinggi. Penyakit yang seharusnya tidak pernah muncul lagi karena adanya imunisasi seperti difteri malah terus dilaporkan keberadaannya. Angka dehidrasi berat akibat diare pada anak belum hilang di beberapa daerah yang tertinggal. Di daerah-daerah tertentu, angka kematian akibat HIV/AIDS masih tinggi.

Meskipun begitu, kita tak boleh pesimis. Kata Indonesia Sehat bukanlah utopia belaka yang tak bisa direalisasikan. Setiap dari kita bisa menjadi penyumbang cita-cita mulia ini, dan salah satu cara sederhananya adalah dengan mematuhi mekanisme JKN yang telah disusun sedemikian rupa.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , , , , | 1 Comment

Skandal Teman Sejawat

Cerita rumah tangga itu harus berakhir dengan kesedihan sekaligus amarah. Tidak sedikit pun sang suami menyangka bahwa pasangannya akan menipunya. Laki-laki itu pun hanya bisa memeluk kedua anaknya setelah ikatan pernikahan yang terjalin bertahun-tahun harus diputus begitu saja. Jika kisah rumah tangga dimulai dengan cinta dan kasih sayang, mengapa di tengah perjalanan cerita itu harus dipotong dengan pengkhianatan?

Adalah hal yang wajar jika seorang laki-laki merasa senang bisa menikahi seorang dokter. Terlebih, istrinya kelak akan menjadi dokter spesialis, sebuah profesi yang penuh prestise tinggi dan posisinya berada di atas dokter umum. Namun, apa daya proses pendidikan dokter spesialis yang tengah ditempuh menjadi bencana bagi kedua belah pihak. Godaan terhadap laki-laki lain sesama peserta pendidikan begitu besar dan tak bisa dibendung, yang berujung pemecatan keduanya dari institusi pendidikan. Jelas saja skandal tersebut tidak bisa ditoleransi oleh pihak kampus karena, sebagaimana sering diulang-ulang oleh para guru saya di fakultas kedokteran, hal yang utama untuk menjadi dokter itu adalah attitude, bukan ilmu atau skill. Orang yang tidak tahu, tidak paham, bahkan bodoh masih bisa diajari dan menjadi pintar dengan belajar, sedangkan orang yang ber-attitude buruk takkan bisa diubah, begitu komentar seorang professor suatu kampus pendidikan kedokteran. Setelah di-DO pun pasangan yang menjalin hubungan terlarang ini tidak bisa ke mana-mana karena nama mereka telah masuk black list, tak satu pun rumah sakit yang mau menampung. Tapi ketidakmampuan mereka untuk melanjutkan sekolah adalah yang remeh karena kerusakan terbesar akibat perselingkuhan itu adalah hati sang mantan suami dan anak-anaknya yang terluka.

Lain lagi kisah sepasang dokter residen di pulau Jawa. Tidak hanya pasangannya, seluruh teman-temannya bahkan teman lintas angkatan pun tak ada yang mengira. Pernikahan antara laki-laki dan perempuan sesama aktivis organisasi telah menjadi cerita romantis di kampus karena mereka merayakan panggung kebahagiaan sebelum melantunkan sumpah dokter. Berpasang-pasang telinga kagum mendengar perjalanan janji suci mereka yang begitu cepat layaknya cerita dongeng. Apa daya, lagi-lagi proses pendidikan dokter spesialis yang panjang dan melelahkan menjadi bisikan setan yang menabuh genderang perselingkuhan. Kali ini, pihak laki-lakinya yang tak mampu menahan nafsu terhadap sesama peserta didik satu departemen, meninggalkan istrinya yang juga tengah lelah menjalani pendidikan di departemen lain. Akhir ceritanya pun sama seperti sebelumnya, yakni pihak universitas tidak mentoleransi kelakuan biadab macam itu dan seorang anak terpaksa harus menerima kenyataan bahwa keluarganya tak lagi utuh.

Juga kisah memilukan yang melibatkan tiga dokter di suatu daerah di pulau Jawa yang sempat viral beberapa waktu lalu. Aktor dan aktris drama terlarang ini bukanlah orang yang sedang menjalani pendidikan melainkan tengah bekerja di satu rumah sakit yang sama. Salah satu dari pelaku ini baru saja menikah beberapa bulan yang lalu, belum genap setengah tahun rumah tangganya harus hancur berantakan, dan cerita ini tersebar ke mana-mana akibat kekuatan media sosial. Tak terbayang seberapa besar dirinya dan keluarganya harus menanggung malu akibat perbuatan haram ini. Saya pribadi tidak bisa menyepakati langkah yang diambil pihak yang dikhianati dengan mengumbar aib tersebut di internet walaupun mereka telah berpisah. Meski demikian, harus ada pelajaran yang diambil oleh kita yang terlanjur mengetahui kisah yang mengiris hati ini.

Cerita di atas adalah tiga dari beberapa yang terdengar. Skandal di rumah sakit bukanlah yang baru atau bahkan bukan hal yang asing. Silakan ketikkan kata-kata perselingkuhan dokter atau tenaga kesehatan di Google, maka akan ada banyak berita miring bermunculan. Itu pun hanya beberapa kisah yang ketahuan; tak terhitung jumlah skandal antar dokter residen atau dokter yang sudah selesai masa pendidikannya baik yang ketahuan maupun tidak.

Pembisik rasa was-was di hati manusia tak pernah tebang pilih, setiap manusia dan setiap profesi akan selalu menjadi santapannya. Namun, profesi tenaga kesehatan menjadi kelompok dengan resiko tersendiri yang terancam perselingkuhan. Dokter menduduki peringkat ketiga sebagai profesi yang rentan berselingkuh, dan masih menurut artikel yang sama perawat berada di peringkat ketujuh. Tenaga kesehatan, terutama yang bekerja di rumah sakit, merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan dan tak mengenal waktu siang dan malam. Jika kebanyakan orang bisa menikmati weekend atau libur panjang karena tanggal merah, hal itu tak berlaku bagi mereka yang harus melayani orang sakit. Tak terbayangkan bukan kalau UGD ditutup dan dikunci pintunya karena seluruh pekerjanya tengah menselebrasi hari raya agama mereka? Begitu pula di saat kebanyakan manusia tengah beristirahat di atas kasur yang empuk, tenaga kesehatan tetap harus berkonsentrasi melakukan pertolongan kepada korban cedera otak akibat tidak berhati-hati di lalu lintas yang sepi. Bukan hanya shift yang tak teratur dan beban kerja yang besar, rasa tanggung jawab akan keselamatan jiwa manusia juga ikut berperan membuat mereka menjadi depresi.

Sebagai profesi yang menempati 10 besar pekerjaan dengan angka depresi tertinggi, tidak mengherankan jika tenaga kesehatan berusaha mencari hal-hal yang dapat meringankan beban pikiran. Rekan kerja lawan jenis merupakan sarana yang paling menyenangkan untuk menjadi tempat berkeluh kesah dan berbagi cerita. Faktor resiko ini juga diperparah dengan interaksi yang intens, terutama di saat kondisi sedang tegang-tegangnya. Tapi mengapa bukan pasangan mereka, bukan suami atau istri mereka yang menjadi tempat pelampiasan atau tempat mencurahkan segala rasa stress di tempat kerja? Agaknya hal inilah yang harus direnungkan secara mendalam agar peristiwa pengkhianatan ini tak terus terjadi.

Artikel dan buku yang membahas mengenai faktor-faktor pemicu keretakan rumah tangga sudah banyak. Amat penting bagi pasangan yang menjalin rumah tangga untuk banyak belajar dari kisah-kisah yang telah ada agar kesalahan yang sama tak terulang dan tak terulang lagi. Pasangan yang baru saja menikah mungkin masih membakar asmara mereka dengan api yang berkobar-kobar, tapi seberapa lama bara tersebut dapat bertahan? Tidak ada bara api yang akan terus menyala selamanya; pada akhirnya ia akan menjadi asap dan suhu panas yang ada di dalamnya pun akan mendingin juga. Keniscayaan hal tesebut semestinya dapat membuat setiap orang untuk berpikir, untuk apa mereka menikah, apakah hanya sekedar membakar bara api? Jika api tersebut telah padam dan rasa yang ada tidak lagi menggebu-gebu seperti dahulu, akankah mereka mencari bara yang lain untuk kembali menggairahkan hidup mereka? Mari pikirkan baik-baik kembali mengenai tujuan membangun pernikahan yang oleh Al Quran disebut sebagai “ikatan yang kuat”, dan saya yakin setiap dari kita mampu menarik benang merahnya.

Hal lain yang juga penting untuk mempertahankan rumah tangga adalah rasa cemburu dari masing-masing pasangan. Kisah pertama yang ada di tulisan ini harus berakhir duka akibat tiadanya rasa khawatir saat pasangannya bersama laki-laki lain untuk “belajar”. “Ah tidak apa-apa, dia kan sedang belajar, saya percaya sama dia,” adalah pernyataan yang kemudian harus disesali. Terdengar pula cerita seorang anak yang harus tinggal sendiri di rumahnya karena sang ibu menyusul suaminya yang bertugas di provinsi sebelah. “Ibu takut kalau ayah bermain mata sama perawat,” terang sang anak tersebut saat bercerita bahwa ayahnya, seorang dokter bedah, sering digoda oleh rekan kerjanya di kamar operasi. Setidaknya, rumah tangga tersebut masih bertahan hingga sekarang akibat usaha preventif yang tampaknya cukup efektif. Ada motivator yang bilang bahwa rasa cemburu merupakan pertanda masih adanya cinta, dan saya percaya bahwa hal itu adalah benar.

Pada akhirnya, hanya tiap individu lah yang mampu menjaga diri mereka masing-masing. Celah pengkhianatan akan mulai terbuka ketika setiap orang membuka hatinya untuk lawan jenis yang bukan haknya. Celah yang mulanya sempit itu akan semakin menganga ketika ia membiarkan orang lain itu membuka pintu hatinya lebar-lebar, dan celah yang mulanya kecil akhirnya meretakkan fondasi rumah tangga yang dibangun susah payah. Amat jelas lah mengapa Tuhan tidak mengatakan agar makhlukNya tidak melakukan zina, melainkan jangan dekati zina; hati manusia begitu sensitif dan lemah terhadap godaan seperti ini. Jangan mengobrol hal yang tidak penting, jangan sms-an atau WA-an jika tidak urgent, jangan bercanda berlebihan, jangan berjalan atau makan minum berdua, batasi segala interaksi hanya pada hal-hal yang menyangkut pekerjaan atau hal penting lainnya; itulah yang saya pahami dari kalimat jangan mendekati zina.

Rumah sakit, dan tempat kerja lainnya, merupakan lokasi yang rawan jika kita mendatanginya tanpa bekal yang kuat. Pekerjaan yang melelahkan dan membuat stress menjadi mata panah setan untuk mencerai-beraikan kebahagiaan rumah tangga. Nyalakan kembali bara api cinta yang telah mati dengan belajar melalui buku-buku atau mereka yang telah berpengalaman. Buka kembali kita suci kita, dengarkan petuah orang-orang yang berilmu, dan selalu perbaharui benteng pertahanan iman kita dengan selalu memohon ampun dan meminta petunjuk dariNya.

Categories: kesehatan, merenung | Tags: , , , , | 1 Comment

Sidak Gubernur dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Umum

“Pak, saya mau ganti mobil ban Avanza. Merk apa ya yang bagus tapi murah?” kata saya kepada seorang bapak-bapak berbaju putih.

“Oh, ini aja, Pak. Ini dari Korea, harga masih murah, kualitas ga kalah bagus!” jawabnya.

Saya yang kurang mengerti masalah per-ban-an mengiyakan aja kata bapak penjual itu. Lagipula, merk yang disebutnya banyak terlihat di spanduk-spanduk di jalan. Mungkin saja memang bagus, apalagi buatan Korea, heheheh.

Tak lama para petugas bengkel selesai memasangkan ban yang baru. Memang, mobil Avanza hitam yang sengaja disewa untuk mobilisasi kami, anak-anak internsip, selama setahun sejak awal sudah punya banyak masalah.

“Berapa semua, Pak?” Bapak penjual berbaju putih itu berjenggot dan istrinya berjilbab lebar. Melihat penampilan mereka, saya sedikit mengajak ngobrol ringan. “Mas kerja di mana?” tanyanya.

“Di Rumah Sakit Umum, Pak. Di UGD,” jawab saya.

“Oh, ini ada anak saya sakit. Awalnya, saya mau membawanya ke rumah sakit umum. Tapi…” suaranya menjadi pelan, “…tapi kata orang-orang pelayanan di rumah sakit umum buruk, ya?”

***

Seorang laki-laki usia 30-an, ditemani seorang wanita yang sepertinya istrinya, buru-buru datang ke UGD. “Dok, anak saya tadi kejang.”

Anak usia balita yang disebutnya datang dalam keadaan menangis dan sedikit rewel. Kata orang tuanya, anaknya sudah demam 2 hari. Melihat kondisi pasien yang sudah tidak kejang lagi, saya pun kembali memeriksa pasien yang sudah datang duluan. Tiba-tiba, suara laki-laki yang sama berteriak, “Sudah, sudah! Kita pulang saja! Ga usah dirawat!” Lalu orang itu beserta istri dan bapak-bapak tua—sepertinya kakek dari anak itu—keluar dari UGD sambil mengomel dan setengah membentak. Sepertinya, kakek pasien itu marah-marah karena cucunya tidak segera diperiksa.

Kami, para petugas di UGD, hanya bisa geleng-geleng kepala. “Ya, sudah lah.” Umumnya anak dengan kejang demam sederhana tidaklah dalam kondisi berbahaya. Selama memang kejangnya hanya sebentar dan setelah serangan sang anak sadar, pengobatan yang dilakukan hanyalah menurunkan panas badan sambil diobservasi. Lalu, kenapa mereka malah marah-marah?

Tak lama, saya pun bisa memaklumi amarah kakek tadi. Saat itu, tidak ada satu pun yang menghampiri mereka dan memberikan penjelasan mengenai kondisi anak. Tak ada pula dokter jaga yang menerangkan, “Pak, keadaan anak Bapak tidak gawat. Sekarang saya sedang memeriksa pasien lain yang sudah datang duluan. Mohon tunggu sebentar ya.”

***

Inspeksi mendadak (sidak) dari seorang Gubernur Jambi ke sebuah rumah sakit umum di wilayahnya menuai protes keras dari kalangan tenaga kesehatan. Para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya mengecam tindakan ala koboi bapak gubernur yang tidak mengerti keadaan saat itu dan kondisi tenaga medis yang berjaga malam. Saat sidak, memang terlihat kondisi ruangan yang beliau kunjungi sedang tenang dan sepi. Dikabarkan bahwa pak gubernur sidak jam 2 dini hari, waktu bagi para pasien rawat inap untuk tidur dan beristirahat. Melihat keadaan yang aman, tidak ada yang gawat, dan tidak ada keluarga pasien yang datang menyampaikan keluhan, wajar bagi para tenaga medis saat itu untuk memenuhi hak tubuh mereka untuk beristirahat sejenak.

Sidak Gubernur Jambi

Sidak Gubernur Jambi

Manusia telah diciptakan sedemikian rupa. Jam biologis manusia “dari sananya” memang demikian, yaitu waktu siang untuk beraktivitas dan waktu malam untuk beristirahat. Walaupun kita dari pagi sampai sore tidur terus bagaikan kerbau agar tersimpan tenaga untuk jaga malam, tetap saja tubuh akan terasa lelah dan pekerjaannya tidak akan sebaik siang hari. Kenapa bisa? Ya karena itu lah jam biologis manusia yang sudah di-set oleh Tuhan, sebagaimana yang Ia katakan dalam surat Al Furqon ayat 47, “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”

Di negara barat sana, sudah diatur bahwa dokter yang shift malam harus beristirahat. Di Inggris, misalnya, NHS mengharuskan dokter dinas malam untuk istirahat selama 30 menit untuk menghindari kesalahan kerja akibat kondisi tubuh yang lelah. Sudah ada banyak jurnal atau penelitian ilmiah yang menyatakan kesalahan dalam penanganan medis atau medical error paling banyak terjadi saat malam hari. Kesalahan-kesalahan yang berujung kerugian bagi pasien juga beresiko besar terjadi jika dokter yang menanganinya memiliki jam kerja yang berlebihan.

Adalah hal yang wajar bagi rumah sakit terakreditasi nasional untuk menerapkan jam tidur bagi karyawannya yang jaga malam secara bergantian. Setidaknya tetap ada petugas yang stand by jikalau ada apa-apa atau mendadak terjadi hal yang emergency. Itu pun menjadi tidak berlaku jika ruangan sedang dipenuhi oleh pasien gawat. Misalnya, saya pernah kedatangan lima pasien gawat sekaligus di waktu yang bersamaan saat jam telah melewati tengah malam. Seketika itu juga seluruh petugas bangun dan memberikan pelayanan; bahkan para perawat di bangsal rawat inap pun sampai datang membantu karena keterbatasan jumlah perawat di UGD.

Tapi mengapa bapak gubernur melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti yang telah kita lihat? Apakah karena bapak ZZ tidak paham? Bisa jadi, karena beliau tidaklah berlatar belakang kesehatan. Apakah—seperti kata beberapa orang di medsos— karena “pencitraan”? Saya tidak ingin berprasangka buruk demikian, karena untuk melakukan “pencitraan”, ada banyak cara yang lebih memikat ketimbang capek-capek ke rumah sakit di waktu dini hari.

medical-resident-sleeping-overworked-doctors-mexico-yo-tambien-mi-dormi-27Saya selalu beranggapan bahwa tidak akan ada asap jika tidak ada api. Di rekaman bapak gubernur mengatakan bahwa ia ke RS tersebut karena mendapat laporan dari masyarakatnya. Selain itu, pak ZZ juga merasa kesal karena RS tersebut kekurangan stok obat demam berdarah. Walaupun “kekurangan stok obat demam berdarah” rasanya absurd karena obat demam berdarah hanyalah cairan infus dan paracetamol—yang rasanya mustahil RS tidak memilikinya—, tapi itu menunjukkan kualitas RS yang perlu dieavaluasi.

Kejadian di Jambi setidaknya perlu kita lihat dengan sudut pandang yang lebih luas; sudah menjadi hal biasa ketika masyarakat mengeluhkan kualitas pelayanan rumah sakit umum. Ketika ada pilihan rumah sakit swasta yang jaraknya terjangkau, masyarakat akan lebih memilihnya. Jika melayani pasien BPJS, pasien kelas III/Jamkesmas pun akan berbondong-bondong mencoba ke RS swasta terlebih dahulu. Jumlah kasur untuk pasien kelas III/Jamkesmas di RS swasta biasanya tidak banyak, sehingga para pasien yang terlambat datang akan segera dioper ke Rumah Sakit Umum yang memang memyediakan jumlah lebih banyak untuk pasien kelas tersebut. Setidaknya ini terbukti ketika saya berkali-kali mendengar keluhan rekan kerja RSU yang juga bekerja di RS swasta, “Pasien di RS swasta sebelah banyak banget, jauh lebih banyak daripada RS ini.”

Mengapa RSU identik dengan pelayanan yang tidak memuaskan? Mengapa RS swasta pelayanannya selalu lebih baik? Apakah memang sistem kesehatan di negara kita memang selalu tebang pilih terhadap pasien tak mampu?

Kita semua tahu bahwa RS swasta, layaknya perusahaan, berorientasi kepada profit. Tarif yang rata-rata “tidak murah” diterapkan bagi para pasien yang ingin berobat di sana. Sebagai gantinya, lembaga itu akan memberikan pelayanan yang maksimal: para karyawan yang penuh senyum, fasilitas yang lengkap, lantai yang bersih, ruangan yang wangi, obat-obatan yang jumlahnya banyak, dll. Untuk mendukung kebijakan pemerintah, banyak RS swasta menyediakan bed khusus pasien BPJS. Namun, biaya klaim yang dibayarkan oleh BPJS cenderung membuat RS swasta rugi jika dibandingkan dengan pelayanan dan fasilitas prima yang diberikan. Tak ingin gulung tikar, biasanya bed untuk pasien BPJS pun dibatasi.

Kondisi berbeda dialami rumah sakit milik pemerintah. Ia eksis untuk memberikan pelayanan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk pasien tidak mampu. Semua “kerugian” akibat klaim BPJS yang rendah harus ditelan dalam-dalam oleh RSU. Ketiba sebuah RSU ingin membuka ruang rawat intensif, saya sempat dengar bisik-bisik dari pihak manajemen, “Kalau ICU dibuka untuk pasien BPJS, sudah dipastikan merugi.”

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

Bagaimana nasib sebuah lembaga yang harus mengalami kerugian tanpa boleh mengeluh? Rumah sakit umum tidak memiliki hak untuk menolak pasien BPJS demi menjaga diri dari kerugian; terbayang jika hal itu dilakukan, ada berapa media massa yang akan menjadikannya sebagai headline? Bisakah RS tersebut memiliki fasilitas yang mantap jika terus dilanda kerugian? Apakah kita bisa berharap RS pemerintah selalu lengkap stok obatnya dan tidak kekurangan persediaan “obat demam berdarah”? Apakah lantainya bisa terus dijaga bersih, toiletnya wangi, kamarnya harum, dan sebagainya, dan sebagainya? Kemudian, bagaimana RS tersebut menggaji para karyawannya? Bisakah ia memberikan penghasilan yang layak bagi dokter, perawat, bidan, petugas farmasi, dan lain-lainnya?

Ini adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri di dunia ini, bahwa performa kerja seseorang dipengaruhi oleh pemasukan yang diterima. Loh, bukankah dokter itu tugasnya adalah membantu sesama manusia ya?  Bukannya dokter itu harus punya jiwa sosial sehingga tidak boleh memikirkan materi?

Pemikiran ini perlu diluruskan. Dokter adalah sebuah profesi, yang untuk memperoleh gelar profesi itu memerlukan pengobarnan yang tidak sedikit, termasuk pengorbaanan harta/materi. Berapa biaya sekolah agar seseorang menjadi dokter? Ketika pertama kali masuk, orang tua siswa harus mengocek puluhan bahkan ratusan juta demi mengamankan kursi di fakultas kedokteran. Setelah itu, belasan juta harus diterbangkan tiap semesternya untuk biaya pendidikan. Biaya di atas belum termasuk pengeluaran untuk textbook yang terkenal tebal dan mahal. Lima hingga enam tahun adalah waktu yang harus dikorbankan agar menjadi dokter. Belum lagi setelah lulus harus menjadi dokter internsip dengan gaji seadanya (dan sering terlambat) dan, kabarnya, setelahnya harus mengikuti program Dokter Layanan Primer selama 2 tahun.

Menuntut dokter untuk bekerja sosial tanpa memberinya hak untuk memikirkan materi berarti tidak menghargai profesi tersebut. Jika profesi-profesi lainnya boleh dihargai (baca: digaji), mengapa dokter tidak boleh? Selain itu, dokter juga adalah manusia biasa yang memerlukan kebutuhan hidup sehari-hari hingga menafkahi istri dan anak-anaknya.

Ketika seorang pejabat melakukan sidak dan mendapati pelayanan dari tenaga medis yang kurang memuaskan, coba ditelusuri terlebih dahulu, apakah mereka mendapatkan penghasilan yang memadai? Apakah pengorbanan dan jenjang pendidikan mereka sudah sesuai dengan gaji yang diberikan? Lama dan beban kerja mereka apakah juga diperhitungkan? Berapa banyak tenaga medis yang telah bekerja selama bertahun-tahun namun tetap saja berstatus honorer?

Dokter dan para tenaga medis adalah orang-orang yang harus stand by ketika kebanyakan orang mudik di waktu lebaran. Mereka juga adalah orang-orang yang harus menangani korban kecelakaan akibat mabuk dan korban luka bakar akibat petasan di malam tahun baru. Mengingat beban kerja mereka, apakah penghargaan yang diberikan selama ini sudah layak sehingga pemerintah bisa mengharapkan pelayanan yang penuh kualitas?

Jika dalam sidak ditemukan pelayanan RS yang kurang memuaskan, maka sudah saatnya untuk mengevaluasi akar dari permalasahan tersebut, bukan hanya menyalahkan tenaga medis yang tidur ayam saat keadaan ruangan tenang. Indonesia masih perlu melangkah jauh agar dapat menerapkan sistem kesehatan yang berkeadilan dan manusiawi, yaitu memanusiakan masyarakat dan juga tenaga kesehatannya. Penyediaan sarana kesehatan dan obat-obatan yang merata di seluruh penjuru juga merupakan pekerjaan rumah yang hingga kini belum tuntas.

Begitu pula bagi para tenaga kesehatan, ada baiknya juga kita melakukan evaluasi terhadap diri sendiri. Walaupun, katakanlah, penghargaan yang diterima dirasa tidak layak, tetapi tetap merupakan kewajiban untuk memberikan pelayanan yang humanis. Terkadang apa yang dibutuhkan pasien bukanlah obat dan skill medis yang mumpuni, namun komunikasi yang efektif. Sudah banyak cerita di lapangan bahwa dokter yang kurang dari sisi pengetahuan dan skill namun mampu berkomunikasi dengan baik lebih disukai masyarakat ketimbang dokter bergelar tinggi tapi gaya bicaranya tidak menyenangkan. Yang menyebabkan dokter dituntut ke meja hijau kebanyakan bukanlah tidak mampu mengobati pasien hingga sembuh, tapi karena tidak mampu berkomunikasi kepada pasien dan keluarga.

Evaluasi dari kedua belah pihak, yaitu stakeholder dan tenaga kesehatan, dibutuhkan untuk menunjuang perbaikan sistem kesehatan negeri ini. Saling menyalahkan atas pelayanan yang buruk tidaklah akan memecahkan masalah. Pemerintah wajib terus melakukan perbaikan dan menyediakan sistem yang semakin baik, juga dokter dan paramedis wajib bekerja secara maksimal—meskipun penghargaannya kurang—sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dan juga ibadah kepada Tuhan.

Categories: kesehatan, merenung | Tags: , , , , , , | Leave a comment

Berbicara Politik, Kita Bersikap Fair Saja-lah



Politik tentu saja berbicara tentang kekuasaan. Kita semua tahu bahwa politik merupakan cara untuk mendapatkan kekuasaan.

Membicarakan politik tidak bisa lepas dari pelaku politik itu sendiri. Kekuasaan disebut eksis apabila ada penguasa. Bahkan bila tak punya sistem pun, kerajaan atau negara bisa tetap jalan selama ada yang duduk di tahta kekuasaan. Politikus merupakan kunci utama dari aktivitas polititk dan kursi jabatan.

Karena fokus utama dari politk adalah pelakunya, maka kegiatan ini tak bisa lepas dari sifat subjektif. Manusia adalah makhluk subjektif karena ia bukanlah robot. Jika memiliki intelijen buatan atau artificial intelligent pun, robot tetaplah mesin, tak punya rasa dan tak punya hati, bisa disamakan dengan pisau belati. Lain halnya dengan manusia; walaupun rocker identik dengan musik keras bagaikan beton, tetap saja mereka memiliki perasaan. Berdampingan dengan akal atau rasionaltias, perasaan menjadi dasar bagi manusia untuk menilai sesuatu. Gabungan antara perasaan yang berbeda tiap orang dan intelektualitas—yang tiap orang pun berbeda tingkatan dan referensinya—membuat manusia menjadi khalifah di muka bumi yang bersifat subjektif.

Para politisi yang memiliki ideologi, sikap, dan gagasan yang berbeda—karena subjektifitasnya tersebut—memiliki spectator atau pendukung masing-masing. Masyarakat yang setuju dengan ide-ide politikus tertentu membuat mereka berusaha agar favoritnya menduduki kekuasaan. Di antara suporter itu pun ada yang habis-habisan mencurahkan pikiran dan tenaganya. Jika politisi yang didukungnya memiliki prestasi atau catatan yang baik, hal tersebut akan digembor-gemborkan untuk meyakinkan orang lain. Begitu pula jika calon dukungannya melakukan kesahalan, pendukungnya yang setia akan sepenuh hati membelanya, agar suara jagoannya di pemilihan nanti tidak jatuh. Hal ini biasa dalam politik.

Masalah akhirnya timbul ketika dukungan yang diberikan kebanyakan—atau sebagian—berupa dukungan “buta”. Perasaan dan rasionalitas tidak lagi dalam posisi proporsional. Logika dikesampingkan atau fakta yang ada diputarbalikkan dengan akrobat argumen agar terkesan masuk akal. Pintu nurani pun tak diketuk lagi, melainkan diganti dengan emosi fanatisme. Sayangnya, fenomena ternyata hal yang lumrah dalam dunia perpolitikan.

Fanatisme buta semakin rumit saat media berita menunjukkan keberpihakannya. Sudah bukan rahasia kalau beberapa media di negara ini jelas-jelas menunjukkan dukungan kepada politisi tertentu. Informasi yang sama bisa diolah dengan berbeda oleh setiap media. Pengolahan yang kreatif membuat kantor berita menjadi media framing, membentuk sudut pandang pembacanya sesuai kehendak penulisnya. Kerumitan ini pun semakin diperumit di era media sosial ketika informasi terus mengalir setiap detiknya tanpa bisa dibendung.

Saat Ahok ditetapkan sebagai tersangka, framing atau pembentukan opini massa terus diolah agar gubernur tak aktif itu terkesan tak bersalah, atau lebih parahnya lagi, heroik. Ketika ditanya tanggapannya mengenai status tersangka, Ahok menyamakan dirinya dengan Nelson Mandela. Cukuplah kita bertanya dengan logika sederhana, sama dari mananya? Yang satu masuk penjara karena memperjuangkan persamaan, yang satu lagi tersangka karena menyakiti jutaan masyarakat Indonesia. Namun logika sederhana ini tak dipedulikan oleh para pendukung fanatiknya. Tak butuh waktu lama bagi Twitter untuk menaikkan tagar #kamiAhok menjadi trending topic. Segala argumen dijungkirbalikkan agar tumbuh kesan walaupun Ahok tersangka, ia tetap berada di jalan yatersangka

Pada aksi 411 kemarin, tak ada lelahnya pendukungnya membentuk opini bahwa mereka yang turun ke jalan adalah perusak kebhinnekaan. Demonstrasi menuntut tegaknya keadilan disebarkan di media sosial sebagai gerakan antikristen dan anticina. Padahal, coba kita lihat spanduk yang dibentangkan pada hari Jumat itu; adakah kata-kata kebencian kepada orang Kristen atau cina? Atau mereka hanya ingin “oknum” yang kebentulan Kristen dan Cina ditangkap karena menistakan agama? Pembentukan opini kemudian dibuat lagi saat aksi berakhir dengan mengatakan aksi tersebut ditunggangi aktor politik. Yang mengherankannya, pembentuk sudut pandang itu bukanlah media atau para buzzer, melainkan presiden RI. Ketika ditanya siapa aktor politik tersebut, bapak Presiden hanya menjawab, “Masih dikumpulkabn buktinya.” Jika belum ada bukti, berarti masih ada kemungkinan ucapan pak Presiden adalah hoax. Tapi apa boleh buat, opini sudah terlanjur terbentuk dan disebarkan oleh media-media berita.

Bendera Merah Putih di Aksi 411

Bendera Merah Putih di Aksi 411

Dukungan buta yang kuat membuat politisi dapat bergerak bebas tanpa takut salah. Donald Trump pernah berkomentar, jika ia membunuh seseorang di New York, ia tak perlu khawatir karena masih ada orang-orang yang mendukungnya. Begitu pula dengan Ahok; walaupun sudah tersangka, ia masih aman berkomentar ceplas-ceplos—salah satunya ketika diwawancara oleh media Australia—karena pendukung setianya akan terus membelanya.

Apakah fenomena matinya hati nurani dan dibunuhnya akal sehat hanya terjadi pada para pendukung Ahok? Tentu saja naif jika berkata demikian. Setiap politisi yang membawa ideologi atau gagasan akan selalu memiliki pendukung setia. Memang Itulah politik. Namun mari bersikap fair. Mari kita akui bahwa pak Basuki memiliki prestasi selama menjadi gubernur. Salah satu prestasi mencoloknya adalah mampu membuat kali menjadi bersih—sebuah karya yang tidak bisa dicapai oleh para gubernur sebelumnya. Ketika sunga mulai menumpuk sampah, ada pasukan pembersih yang siap membersihkannya. Pak BTP juga bersifat progresif dalam pembangunan di Jakarta. Para penduduknya pun mengakui bahwa di bawah Ahok, meskipun Jakarta masih banjir, namun volumenya sudah berkurang. Juga dengan berbagai pungli, tidak ada lagi yang berani melakukannya karena sikap tegas gubernur.

Prestasi yang cukup baik, bukan? Saya—yang mendukung agar Ahok dipenjara—mengakuinya dengan pikiran terbuka. Tapi mari kita akui juga bahwa ia memiliki banyak kekurangan, bahkan ada yang bersifat fatal sehingga—menurut saya—beliau hanya pantas menjadi manajer, bukan pemimpin. Ya betul, apa yang membedakan manajer dengan pemimpin? Jawabannya pasti banyak. Manajer ialah orang yang mengatur dan mengerjakan hal-hal teknis agar diperoleh hasil yang memuaskan.

Bagaimana dengan pemimpin? Ia lebih dari itu. Pemimpin adalah sosok yang menjadi panutan dan teladan bagi masyarakatnya. Jika ada suatu hal atau peristiwa, maka rakyat akan merujuk ke pemimpinnya. Kata “pemimpin” lekat dengan kata “sikap”, “karakter”, “integritas”, dan soft skills lainnya. Bagaimana dengan pak Ahok? Sudahlah, kita akui saja ia memiliki attitude yang buruk, amat jelek malah. Apakah kata-kata kasar—“kasar” yang secara harfiah bermakna kasar, bukan tegas—pantas diucapkan oleh pemimpin? Berapa kali Ahok tidak mampu menjaga lidahnya yang tak bertulang? Sudah, akui saja.
Begitu pula, berapa kali Ahok harus menelan ludahnya sendiri? Saat menjadi calon pemimpin bersama Jokowi, terhadap warga kampung bukankah ia setuju dengan komitmen untuk “menata, bukan menggusur”? Bukankah pula ia mengatakan DPR—yang isinya orang-orang partai—itu sarang maling sehingga ia membangga-banggakan Teman Ahok untuk maju independen? Ini belum mempertanyakan rasa manusiawinya ketika menggusur tanpa mendahulukan dialog dua arah.

Kita tentu mengenal Fahri Hamzah; politisi asal Sumbawa ini memiliki kemiripan dengan Ahok. Mereka sama-sama bersikap tegas, bersuara keras, dan suka gagal mengontrol lidah. Apa yang terjadi ketika FH mengatakan Pak Jokowi “sinting” dan anggota DPR “rada-rada bloon”? Mari kita objektif. Fahri Hamzah merupakan anggota legislatif yang selalu bersuara lantang menyampaikan kritikan. Ketika dirasa ada yang janggal dalam penegakan hukum, beliau tidak takut bersuara menuntut keadilan (akui saja hal ini). Tapi ia bukanlah malaikat, dan kesalahannya cukup fatal yang membuat partainya mengeluarkan teguran. Ya, ia ditegur yang berujung dikeluarkan dari partai gara-gara ucapan “sinting”, “rada-rada bloon”, dan ikut campur dalam kasus papa minta saham. Ia telah berbuat salah dan alhamdulillah partainya dan beberapa pendukungnya tidak membiarkannya larut dalam kesalahan.

Memiliki sikap suka atau senang terhadap seseorang merupakan fitrah setiap manusia. Ada yang senang dengan Pak Jokowi yang terkesan sederhana dan pro rakyat kecil, ada pula yang suka dengan Pak Prabowo yang berkharisma dan tegas terhadap pihak asing. Itu sah-sah saja. Namun celaka akan hadir di dalam negara jika kesalahan-kesalahan pejabat ditutup-tutupi atau diolah dengan kreatif oleh para buzzer sehingga terkesan tidak bersalah. Pujaan fanatik akan melahirkan senjata berbahaya yang bernama absolute power. Betul, untuk apa takut berbuat sesukanya? Toh, akan selalu ada yang mendukung dengan membabi buta. Untuk apa menjaga perkataan? Apa pun yang ia katakan, akan disihir menjadi kata-kata indah oleh para buzzer. Tidakkah sadar bahwa kita sedang menumbuhkembangkan kediktatoran?

Sebelum tahun Masehi mencapai angka 1000, Muhammad (saw.) sudah mengingatkan kita, “Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian tidak bersikap adil.” Untuk bersikap adil dalam politik memang sangat sulit. Jika sudah terlanjur jatuh cinta terahadap politisi atau partai, sulit sekali meredam emosi dan mengedepankan akal sehat, namun itu tidak mustahil. Sebelum berkomentar atau mengeluarkan pendapat, mari dimulai dengan istigfar. Wajar jika sang jagoan tetap kita bela, tapi lakukanlah dengan proporsional. Akui saja ia salah, sambil tetap mempromosikan karya-karya nyata yang sudah dihasilkan, bukan malah menyerang balik pihak yang mengkritiknya dengan mengatakan mereka “merusak kebhinnekaan” atau “berbuat makar” padahal tidak ada bukti.

Adanya kecerdasan yang diimbangi dengan nurani merupakan nikmat yang harus disyukuri. Jika rasionalitas telah dikubur dalam-dalam dan hati telah mengeras layaknya batu, rasanya sudah tidak ada bedanya lagi dengan binatang. Dan, sepertinya, para buzzer itu senang jika berhasil membuat banyak orang ikut-ikutan menjadi binatang seperti mereka.

Categories: gagasan, merenung | Tags: , , , , , , , | Leave a comment

Desentralisasi BPJS: Tidak Mampunya Pemerintah Menanggung Beban Berat

Ketika muncul berita bahwa Bapak Presiden mewacanakan pengelolaan BPJS oleh Pemda, isi dari berita itu sudah bisa ditebak. Benar saja, alasan mengapa pemerintah pusat ingin membagi tanggung jawabnya ialah soal pendanaan. Dana BPJS telah menjadi beban bagi APBN karena lembaga tersebut terus mengalami defisit anggaran.

Semenjak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dilaksanakan tahun 2014, BPJS sebagai lembaga penyelanggara jaminan tersebut selalu merugi dalam angka yang besar. Nilai defisit terus menukik tiap tahunnya layaknya pendaki. Pada tahun 2014, adanya ketidaksesuaian antara pemasukan dan pengeluaran atau mismatch mencapai 3.3 triliun, lalu menjadi 5.85 triliun setahun berikutnya. Di tahun ini, diproyeksikan defisit BPJS mencapai 7 triliun.

Banyak pemerhati dan pakar yang berpendapat, ketika pemerintah mewajibkan warganya untuk menjadi anggota BPJS, pelaksanaan jaminan sosial berskala nasional ini masih penuh ketidaksiapan. Penyelenggara berkilah bahwa perbaikan akan dilakukan sambil berjalan, dengan target tahun 2019 seluruh warga Indonesia ter-cover BPJS. Tapi nyatanya perjalanan waktu tidak serta merta membuat pengelolaan BPJS menjadi lebih baik. Kerugian yang terus melambung membuat badan ini harus “mengemis” sunitkan dana ke pemerintah. Presiden sudah berkali-kali mengatakan ke Menteri Kesehatan bahwa kerugian BPJS ini menjadi beban yang sangat berat.

Atas dalih itu, pemerintah pusat tidak ingin menanggungnya sendirian. Beban yang sangat berat, yang sampai membuat nyeri punggung negara ini, hendak dibagi-bagikan ke pemerintah daerah,demi terselamatkannya APBN untuk alokasi hal-hal lain. Jokowi menskemakan pemerintah pusat akan memberikan dana dalam jumlah tertentu untuk daerah. Bila terjadi kekurangan alias defisit, pemda-lah yang bertanggung jawab mengisi lubang itu. Pertanyaannya, apakah dengan skema seperti ini rakyat semakin diuntungkan, atau malah semakin menderita?

Desentralisasi BPJS akan membuat ketimpangan antar daerah dari barat sampai timur Nusantara. Kita paham bahwa Indonesia yang luas ini mememiliki kondisi daerah yang beragam: ada yang makmur karena punya banyak pemasukan, ada pula yang penuh kemiskinan. Ketidakrataan kondisi ini tentu akan membuat kualitas jaminan kesehatan tiap daerah berbeda. Wilayah yang makmur akan mampu memberikan jaminan kesehatan yang berkualitas—mungkin tidak akan ada cerita pasien ditolak di UGD karena khawatir tidak akan dibayar klaimnya. Sebaliknya, bagi daerah yang masih berkembang, akan apa jadinya? Bagaimana bila pemda tidak mampu membiayai tagihan yang membludak? Bisakah bantuan dari pusat diharapkan, padahal presiden mengatakan pemdalah yang harus menanggung?

Jika klaim perawatan tidak bisa dibayarkan, pihak yang rugi pertama adalah fasilitas kesehatan. Kemudian yang menjadi korban selanjutnya adalah para tenaga kesehatan di dalamnya—dokter, perawat, bidan, dll—yang memiliki keluarga untuk dinafkahi. Fasilitas kesehatan yang merugi akan berdampak pada pelayanan yang buruk; akhirnya masyarakat jugalah yang menjadi korban. Apakah ketidakadilan antardaerah seperti ini yang diinginkan?

Itu baru tentang ketidakmampuan daerah dalam meng-cover. Jika pemda diberi dana oleh pusat untuk mengelola BPJS, apakan 100% seluruh uang itu akan dioper untuk layanan kesehatan? Sudahlah, kita semua sering bisik-bisik mengenai dana pembangunan daerah yang entah melayang ke mana. Desentralisasi jaminan kesehatan akan sangat membuka celah besar korupsi daerah. Jika penyalahgunaan dana terjadi di pusat, pengawasan dan pengkoreksiannya akan lebih mudah dilakukan. Bagaimana jika korupsi itu tersebar di daerah dari Sabang sampai Merauke? Sekali lagi, adakah desentralisasi pengelolaan BPJS menjadi solusi bagi rakyat Indonesia?

DLP Bukanlah Solusi

Kemarin hari, tepatnya tanggal 24 Oktober, ribuan dokter Indonesia berdemonstrasi di Jakarta. Tuntutan mereka sederhana: tolak program Dokter Layana Primer. Kaum professional berjas putih ini turun ke jalan karena tidak puas terhadap pemerintah ysng enggan mendengar aspirasi mereka.

Menurut Undang-Undang Pendidikan Dokter terbaru, dokter umum harus menjadi Dokter Layanan Primer agar bisa bekerja di fasilitas kesehatan primer. Sederhananya, seorang yang telah menempuh pendidikan 5-6 tahun untuk menjadi dokter umum, lalu mengikuti program internsip selama 1 tahun, harus sekolah lagi 2 tahun supaya bisa bekerja di puskesmas atau klinik primer yang menangani pasien BPJS. Jadi, total waktu yang dibutuhkan sekitar 8-9 tahun untuk benar-benar bisa bekerja mandiri. Perjalanan yang sangat panjang, bukan?

Mengapa harus ada pendidikan DLP? Mungkin bisa dibilang ini pertanyaan paling misterius bagi kebanyakan dokter di Indonesia. Muncul berbagai pernyataan yang berusaha menjawab pertanyaan itu. Ada yang bilang DLP sebenarnya memiliki kompetensi yang sama dengan dokter umum, namun level-nya setara dokter spesialis. Ada juga yang mengatakan DLP memiliki orientasi kesehatan komunitas, sehingga ia bekerja sebagai dokter keluarga. Ada lagi yang bilang—sepertinya ini yang paling resmi karena dari pemerintah—DLP diadakan karena kompetensi dokter umum yang ada saat ini dirasa kurang untuk bekerja di fasilitas primer.

Adanya berbagai versi mengenai DLP cukup menggelitik karena itu sudah menjelaskan bahwa konsepnya sendiri masih digodok. Yang paling membuat geli adalah pernyataan bahwa dokter umum sekarang “tidak cukup kompeten”. Menurut pemerintah, kompetensi dokter umum yang ada sekarang ini hanyalah mendiagnosis dan menangani 100 kasus penyakit, sedangkan DLP 155 penyakit—jumlah yang menurut pemerintah harus bisa ditangani di fasilitas primer. Padahal, di setiap fakultas kedokteran, calon dokter telah dididik untuk bisa menangani sendiri sebanyak 144 kasus sesuai Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Entah kenapa sekarang dikurangi menjadi 100, dan jumlah kasus yang harus bisa ditangani bertambah menjadi 155.

Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak sekali kasus yang seharusnya bisa ditangani di puskesmas tapi dirujuk ke Rumah Sakit. Membludaknya pasien rujukan di RS jelas menyuramkan keuangan BPJS yang berujung ke defisit anggaran. Kenapa puskesmas banyak merujuk pasien? Ya, ini adalah pertanyaan yang sangat penting: kenapa bisa demikian?

Benarkah pasien banyak dirujuk karena dokter umum yang tidak kompeten? Pelaku layanan di lapangan akan mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah minimnya sarana-prasarana kesehata/n. Apakah setiap puskesmas memiliki fasilitas laboratorium? Jika pun ada, berapa banyak yang bisa melakukan pemeriksaan kimia darah? Apakah di setiap puskesmas memiliki alat rekam jantung (EKG)? Ada alat pemeriksaan X-Ray/rontgen? Berapa banyak yang terpaksa merujuk ke RS karena tidak punya fasilitas rawat inap, bahkan antibiotik injeksi pun tak ada?

Katakanlah di puskesmas ada Dokter Layanan Primer yang sepenuhnya kompeten terhadap 155 penyakit. Bisakah dia menangani pasien yang datang karena asma tapi tidak ada alat nebulisasi?

Pembukaan pendidikan DLP mau tak mau memakan biaya dari pemerintah. Anggaran kesehatan yang sudah banyak tersedot untuk suntikan BPJS akan terkurangi lagi untuk biaya program studi baru. Banyaknya dana yang terkuras akan membuat alokasi untuk penyediaan sarana-prasarana kesehatan semakin berkurang, dan ini tentu membuat kualitas pelayanan kesehatan akan terus stagnan. Apalagi saat ini Bapak Presiden menyerukan agar dilakukan penghematan anggaran. Dibukanya program DLP justru kontraproduktif dengan pengembangan layanan kesehatan dan program pemerintah sekarang.

Mencari Jawaban Bersama

Pakar-pakar kesehatan masyarakat telah menyampaikan pandangannya mengenai kerugian yang dialami BPJS. Solusi yang banyak disarankan adalah perlunya menaikkan angka iuran. Menurut Prof. Hasbullah Thabrany, pakar ilmu kesehatan masyarakat dari UI, jumlah premi yang ada sekarang tidak mencapai 40% dari yang disarankan ahli kesehatan masyarakat. Iuran yang dinaikkan tentu akan memberikan beban bagi masyarakat, tapi itu adalah langkah yang perlu karena biaya pengobatan itu tidak murah. Jika masyarakat mengenah bawah penerima BPJS kelas III merasa sangat berat bila biaya dinaikkan, maka premi kelas di ataslah yang mesti dinaikkan untuk memberikan subsidi silang. Dengan demikian, makna “asuransi berprinsip gotong royong” lebih terasa.

Masih menurut Prof. Hasbullah, perbaikan sarana/prasarana kesehatan juga hal yang penting untuk perbikan JKN kita. Telah dijelaskan di atas, sarana yang minim hanya akan menyuburkan angka rujukan. Terakhir, menurut beliau adalah sistem reward bagi fasilitas primer yang berkinerja baik dan yang mampu melakukan kegiatan preventif (pencegahan) dan promosi kesehatan dengan efektif. Kegiatan preventif-promotif memiliki sasaran masyarakat yang sehat, menargetkan bagaimana mereka yang tidak sakit menjadi semakin sehat dan tidak perlu berobat, yang gencar diharapkan menurunkan angka kesakitan. Preventif-promotif yang efektif tidak hanya menurunkan angka kesakitan dan menaikkan angka harapan hidup, tapi juga akan menghemat anggaran kesehatan.

BPJS juga perlu memikirkan bagaimana agar ia sebagai lembaga bisa menghasilkan keuntungan. Sistem BPJS yang memukul sama rata semua pelanggannya hakikatnya tidak mendidik masyarakat dan hanya menggali kuburan sendiri. Sebagai contoh, seorang perokok aktif sudah seharusnya membayar premi berkali-kali lipat dibandingkan dengan yang tidak merokok. Hal itu wajar karena sikapnya yang buruk membuatnya beresiko besar membutuhkan perawatan yang memakan biaya besar. Begitu pula dengan peminum alkohol.

Seperti halnya lembaga asuransi yang lain, sebaiknya BPJS diberi hak untuk mestratifikasi pesertanya, misalnya dengan melakukan prescreening. Kondisi kesehatan yang sudah dimiliki peserta bisa menjadi pertimbangan untuk besaran premi yang akan dibayarkan. Tak bisa dipungkiri, dana BPJS banyak terpakai oleh mereka yang telah mengidap penyakit kronis. Setiap bulan BPJS harus membayar klaim mereka yang memang harus rutin meminum obat penyakit kronis hingga cuci darah. Sebaliknya, seorang yang kondisi dasarnya sudah sehat akan jarang menggunakan fasilitas kesehatan. Prinsip keadilan berdasarkan preexisting condition dapat dipertimbangkan, tanpa menyingkirkan prinsip gotong royong tentunya.

Ketaatan peserta untuk rutin membayar iuran juga adalah hal yang sangat penting. Para peserta pekerja bukan penerima upah merupakan golongan yang banyak membebani. Mereka membayar iuran tidak seperti pekerja yang langsung dipotong gajinya. Golongan ini beresiko besar baru membayar BPJS ketika akan membutuhkan pelayanan kesehatan, dan begitu sudah tidak sakit, iuran tidak dipenuhi lagi. Untuk mengatasi ini, sudah saatnya memikirkan cara-cara kreatif untuk meningkatkan kepatuhan, selain adanya denda. Perlu ditambah fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk membayar, misalnya optimalisasi sistem layanan online. Selain itu, jika ada sistem punishment, mengapa tidak ada reward? Kemal Imam Santoso, mantan direktur PT Askes, menyarankan adanya diskon bagi peserta yang telah membayar iuran selama 6 bulan atau 1 tahun ke depan.

Perjalanan menuju negara yang sejahtera melalui sistem jaminan sosial nasional masih amatlah panjang. Kita belumlah seperti National Health Service di Inggris, yang ketika ada pelayanan kesehatan, pasien tidak perlu khawatir ada obat yang tidak dijamin, pun tenaga dan fasilitas kesehatan dapat bekerja dengan tenang karena sudah pasti akan dibayarkan klaimnya. Kondisi ekonomi negara ini, mengutip kata Menteri Keuangan, masih selevel liga kelurahan. Berhutang harus kembali dilakukan untuk membayar hutang. Namun, itu bukanlah alasan untuk tidak optimis bahwa sistem asuransi kesehatan nasional kita dapat dibenahi agar benar-benar menyejahterakan rakyatnya.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , , , , , , | 1 Comment

Blog at WordPress.com.