Posts Tagged With: bpjs

Bukan Hanya Tukang Bikin Rujukan

Kita sepatutnya bersyukur bahwa Indonesia sudah memasuki era jaminan sosial nasional sejak 3 tahun yang lalu. Tak ada yang bisa menyangkal manfaat yang dirasakan, terutama jaminan kesehatannya atau biasa dikenal dengan BPJS Kesehatan. Dahulu kelas menengah adalah kaum yang paling menderita ketika jatuh sakit karena mereka tak termasuk kriteria penerima Jamkesmas tapi tak semakmur kelas atas untuk membayar biaya pengobatan yang mahal.

Meskipun demikian, para ahli kesehatan sepakat bahwa masih banyak celah kekurangan yang perlu diisi. Semenjak pertama kali diresmikan, BPJS selalu mengalami kerugian. Adanya skema asuransi kesehatan nasional yang bersifat wajib ternyata makin menambah jumlah kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan (faskes). Jika dulu ketika mendapat batuk pilek atau penyakit ringan lainnya masyarakat cukup membeli obat-obatan berlabel hijau, kini mereka termotivasi untuk mengunjungi dokter. Barangkali karena dengan datang ke puskesmas/klinik mereka bisa mendapatkan obat dengan gratis.

Hal tersebut tentu sah-sah saja, tapi masalah timbul ketika skema asuransi ini dipahami sebagai jalan untuk bisa berobat ke dokter spesialis secara cuma-cuma. Siapa yang tidak senang bisa konsultasi dengan dokter spesialis tanpa mengeluarkan biaya, yang jika menggunakan kocek pribadi harus mengeluarkan uang sebesar 150 ribu-300 ribu? Terlebih jika menghadap spesialis di rumah sakit; mereka bisa mendapat pemeriksaan laboratorium, rontgen, atau penunjang lainnya secara—lagi-lagi—gratis.

Pola pikir seperti itu membuat repot para dokter di faskes tangka pertama; dikira seseorang bisa berobat ke dokter spesialis begitu saja tanpa indikasi medis. Jika orang itu memang mengalami penyakit rumit yang perlu penanganan spesialistik, tak perlu khawatir rujukan tak akan keluar. Juga jika sebelumnya sudah pernah diperiksa oleh dokter spesialis atau dirawat di RS dan pada waktu tertentu harus kontrol kembali. Biasanya sang pasien akan diberi surat keterangan bahwa ia pernah ditobati di RS—yang disebut dengan surat rujukan balik—untuk diberikan ke klinik atau faskes tingkat pertama, yang kemudian klinik itu akan memberikan surat rujukan untuk kembali ke RS. Namun, bagaimana jika pasien meminta rujukan bukan karena pernah ditangani di RS, atau bukan setelah melalui penilaian bahwa ia diindikasi untuk dirujuk, melainkan karena ia merasa harus ditangani oleh dokter spesialis, alias tidak percaya atau meragukan kemampuan dokter umum?

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN telah disusun sedemikian rupa agar tepat sasaran. Masih ingat dengan Kartu Jakarta Sehat (KJS) ketika pertama kali diusung oleh Pak Joko Widodo? Di awal-awal peluncurannya, terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. Dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya harus bekerja ekstra keras hingga lembur untuk melayani ruangan poliklinik dan Instalasi Gawat Darurat yang membludak. Ternyata tidak hanya kasus spesialistik dan gawat darurat yang harus mereka tangani, tapi juga penyakit-penyakit sederhana yang seharusnya bisa ditangani di klinik/puskesmas. Berbondong-bondongnya peserta KJS melompat ke RS kala itu dikarenakan tidak adanya sistem rujukan. Apa akibatnya ketika suatu rumah sakit mengalami penumpukan pasien tak terkendali? Kualitas pelayanan akan menurun dan yang paling dikhawatirkan adalah jika ada pasien dengan kasus spesialistik dan gawat darurat yang terpaksa terpinggirkan.

Tidak heran jika BPJS menerapkan sistem yang begitu ketat. Sebanyak 144 kasus ditekankan oleh lembaga tersebut ke tiap klinik/puskesmas agar bisa segera ditangani di sana tanpa harus dioper. Jika pasien terlalu mudah dirujuk, biaya klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS akan membengkak dan jadilah lembaga ini terus merugi. Pada kenyataannya, merujuk pasien tak bisa dihindarkan. Perlengkapan dan obat-obatan yang kurang selalu menjadi masalah klasik di faskes tingkat 1. Ketika seseorang datang karena asmanya kambuh, sedangkan alat nebulisasi tak tersedia, apakah dokter tega membiarkannya minum obat dalam keadaan sesak? Dana yang disediakan oleh BPJS untuk faskes—alias kapitasi—yang jumlahnya tak seberapa membuat klinik pratama merasa tak mampu melengkapi sarana-prasarananya.

Masalah ini sudah menjadi beban bagi sistem asuransi kesehatan nasional kita, dan harus ditambah seberapa berat lagi dengan sikap pasien yang tak mau memahami ini? Kepala klinik/puskesmas pun harus menjadi korban terguran atau sangsi oleh BPJS karena merujuk tanpa indikasi.

“Saya mau minta rujukan,” barangkali adalah kalimat yang banyak diucapkan oleh pasien ketika baru datang tanpa basa-basi. Begitu keluhannya disampaikan dan ternyata tidak perlu penanganan spesialistik, langsung dijawab, “Saya sudah biasa ke dokter spesialis anu. Kemarin juga saya berobat ke dia.” Kemudian, setelah sang dokter umum bersusah payah menjelaskan penyakitnya dan bahwa pengobatannya tersedia di faskes pertama, dibalas, “Iya, saya tahu, saudara saya juga dokter umum. Ini saya harus ke spesialis!” Sebenarnya, yang mengesalkan dari hal ini adalah orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada dokter umum tersebut enggan langsung ke dokter spesialis karena mengharapkan biaya pengobatannya ditanggung BPJS.

Kurangnya Sikap Respek

Salah satu permasalahan bangsa ini yang kerap dilontarkan oleh kaum intelektual adalah minimnya sikap saling menghargai. Apakah seorang manusia harus dipandang sambil membungkuk penuh keramahan atau mendongak dengan memincingkan mata tergantung dari faktor status sosial dan harta. Senyuman hanya diberikan kepada para bos sedangkan pegawai yang posisinya tidak tinggi diberi muka masam. Fenomena ini secara tak sadar membentuk sistem kasta sosial di negara kita.

Secara umum, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada si kaya dan si miskin tak ada perbedaan. Setiap orang akan mendapat pengobatan semaksimal mungkin dan yang kondisinya lebih gawat akan didahulukan, tanpa memandang keadaan ekonomi atau suku/agamanya. Namun, kita tak dapat membantah bahwa yang kantongnya lebih tebal akan mendapat kamar perawatan yang lebih bersih, harum, dan privat sehingga kondisinya jauh lebih nyaman daripada pasien biasa. Tak perlu ditutup-tutupi pula bahwa pasien-pasien kelas seringnya mendapat perlakuan yang lebih ramah dan senyuman yang lebih lebar. Mungkin para tenaga medis itu melakukannya secara otomatis di luar alam sadar karena telah terbiasa dengan sistem sosial yang ada di masyarakat.

Masalah mental ini juga mengakibatkan tidak adanya sikap penghargaan kepada dokter umum karena hanya ingin dilayani oleh spesialis di RS. Adalah nasib di era JKN ini dokter umum hanya dipandang sebaga tukang bikin rujukan. Apa pun nasihat yang disampaikan oleh dokter umum rasanya terlalu lemah untuk menembus dinding kearoganan yang tebal. Obat yang sudah capek-capek diresepkan harus berakhir di tong sampah karena yang diinginkan hanyalah surat rujukan. Padahal, untuk menjadi dokter umum dibutuhkan pendidikan yang tidak sebentar, ujian yang tidak mudah, dan juga internsip yang tidak ringan.

Atau tak usah ke pelayanan kesehatan. Lihat saja pelayanan publik. Terkadang orang dengan pakaian perlente akan diberi salam, “Selamat pagi, Pak!” dengan penuh hormat oleh petugas di depan. Perlakuan berbeda diberikan kepada orang berpakaian sederhana, yang mungkin akan mendapat pertanyaan dengan nada curiga, “Mau ke mana, Pak?”

Atau katakanlah fenomena yang terjadi belakangan ini. Saat ada orang yang berbeda pilihan politik, langsung saja diberi stigma antikeragaman, antibhinneka, dan kaum radikal. Tidak adanya sikap respek terhadap orang yang berbeda membuat negeri ini terus saja terkotak-kotakkan.

Hal ini barangkali disebabkan kita semua telah terlanjur tertanam mental dijajah. Pemilik darah biru harus merunduk-runduk di depan orang berkulit putih. Yang paling sial adalah yang darahnya merah biasa; mereka harus merunduk-runduk ke bangsawan dan sujud ke penjajah. Akhirnya tumbuh value atau nilai di masyarakat bahwa hanya orang-orang berkedudukan tinggi dan berhartalah yang pantas untuk dihormati.

Cita-Cita Panjang

Pemerintah kita dahulu mencanangkan Visi Indonesia Sehat 2010. Tahun berlalu, kemudian program tersebut berubah menjadi Visi Indonesia Sehat 2015. Pun tahun berlalu, kini muncul Visi Indonesia Sehat 2025.

Kata “sehat” memiliki makna yang luas. Tidak hanya bebas dari penyakit, tapi juga memiliki kondisi jiwa yang tenang sehingga mampu melakukan aktivitas dengan produktif. Hingga kini, tahun 2017, rasanya perjalanan menuju cita-cita itu masih sangat panjang, atau bahkan mungkin tak terhingga? Jumlah penyakit menular masih saja tinggi. Penyakit yang seharusnya tidak pernah muncul lagi karena adanya imunisasi seperti difteri malah terus dilaporkan keberadaannya. Angka dehidrasi berat akibat diare pada anak belum hilang di beberapa daerah yang tertinggal. Di daerah-daerah tertentu, angka kematian akibat HIV/AIDS masih tinggi.

Meskipun begitu, kita tak boleh pesimis. Kata Indonesia Sehat bukanlah utopia belaka yang tak bisa direalisasikan. Setiap dari kita bisa menjadi penyumbang cita-cita mulia ini, dan salah satu cara sederhananya adalah dengan mematuhi mekanisme JKN yang telah disusun sedemikian rupa.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , , , , | 1 Comment

Sidak Gubernur dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Umum

“Pak, saya mau ganti mobil ban Avanza. Merk apa ya yang bagus tapi murah?” kata saya kepada seorang bapak-bapak berbaju putih.

“Oh, ini aja, Pak. Ini dari Korea, harga masih murah, kualitas ga kalah bagus!” jawabnya.

Saya yang kurang mengerti masalah per-ban-an mengiyakan aja kata bapak penjual itu. Lagipula, merk yang disebutnya banyak terlihat di spanduk-spanduk di jalan. Mungkin saja memang bagus, apalagi buatan Korea, heheheh.

Tak lama para petugas bengkel selesai memasangkan ban yang baru. Memang, mobil Avanza hitam yang sengaja disewa untuk mobilisasi kami, anak-anak internsip, selama setahun sejak awal sudah punya banyak masalah.

“Berapa semua, Pak?” Bapak penjual berbaju putih itu berjenggot dan istrinya berjilbab lebar. Melihat penampilan mereka, saya sedikit mengajak ngobrol ringan. “Mas kerja di mana?” tanyanya.

“Di Rumah Sakit Umum, Pak. Di UGD,” jawab saya.

“Oh, ini ada anak saya sakit. Awalnya, saya mau membawanya ke rumah sakit umum. Tapi…” suaranya menjadi pelan, “…tapi kata orang-orang pelayanan di rumah sakit umum buruk, ya?”

***

Seorang laki-laki usia 30-an, ditemani seorang wanita yang sepertinya istrinya, buru-buru datang ke UGD. “Dok, anak saya tadi kejang.”

Anak usia balita yang disebutnya datang dalam keadaan menangis dan sedikit rewel. Kata orang tuanya, anaknya sudah demam 2 hari. Melihat kondisi pasien yang sudah tidak kejang lagi, saya pun kembali memeriksa pasien yang sudah datang duluan. Tiba-tiba, suara laki-laki yang sama berteriak, “Sudah, sudah! Kita pulang saja! Ga usah dirawat!” Lalu orang itu beserta istri dan bapak-bapak tua—sepertinya kakek dari anak itu—keluar dari UGD sambil mengomel dan setengah membentak. Sepertinya, kakek pasien itu marah-marah karena cucunya tidak segera diperiksa.

Kami, para petugas di UGD, hanya bisa geleng-geleng kepala. “Ya, sudah lah.” Umumnya anak dengan kejang demam sederhana tidaklah dalam kondisi berbahaya. Selama memang kejangnya hanya sebentar dan setelah serangan sang anak sadar, pengobatan yang dilakukan hanyalah menurunkan panas badan sambil diobservasi. Lalu, kenapa mereka malah marah-marah?

Tak lama, saya pun bisa memaklumi amarah kakek tadi. Saat itu, tidak ada satu pun yang menghampiri mereka dan memberikan penjelasan mengenai kondisi anak. Tak ada pula dokter jaga yang menerangkan, “Pak, keadaan anak Bapak tidak gawat. Sekarang saya sedang memeriksa pasien lain yang sudah datang duluan. Mohon tunggu sebentar ya.”

***

Inspeksi mendadak (sidak) dari seorang Gubernur Jambi ke sebuah rumah sakit umum di wilayahnya menuai protes keras dari kalangan tenaga kesehatan. Para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya mengecam tindakan ala koboi bapak gubernur yang tidak mengerti keadaan saat itu dan kondisi tenaga medis yang berjaga malam. Saat sidak, memang terlihat kondisi ruangan yang beliau kunjungi sedang tenang dan sepi. Dikabarkan bahwa pak gubernur sidak jam 2 dini hari, waktu bagi para pasien rawat inap untuk tidur dan beristirahat. Melihat keadaan yang aman, tidak ada yang gawat, dan tidak ada keluarga pasien yang datang menyampaikan keluhan, wajar bagi para tenaga medis saat itu untuk memenuhi hak tubuh mereka untuk beristirahat sejenak.

Sidak Gubernur Jambi

Sidak Gubernur Jambi

Manusia telah diciptakan sedemikian rupa. Jam biologis manusia “dari sananya” memang demikian, yaitu waktu siang untuk beraktivitas dan waktu malam untuk beristirahat. Walaupun kita dari pagi sampai sore tidur terus bagaikan kerbau agar tersimpan tenaga untuk jaga malam, tetap saja tubuh akan terasa lelah dan pekerjaannya tidak akan sebaik siang hari. Kenapa bisa? Ya karena itu lah jam biologis manusia yang sudah di-set oleh Tuhan, sebagaimana yang Ia katakan dalam surat Al Furqon ayat 47, “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”

Di negara barat sana, sudah diatur bahwa dokter yang shift malam harus beristirahat. Di Inggris, misalnya, NHS mengharuskan dokter dinas malam untuk istirahat selama 30 menit untuk menghindari kesalahan kerja akibat kondisi tubuh yang lelah. Sudah ada banyak jurnal atau penelitian ilmiah yang menyatakan kesalahan dalam penanganan medis atau medical error paling banyak terjadi saat malam hari. Kesalahan-kesalahan yang berujung kerugian bagi pasien juga beresiko besar terjadi jika dokter yang menanganinya memiliki jam kerja yang berlebihan.

Adalah hal yang wajar bagi rumah sakit terakreditasi nasional untuk menerapkan jam tidur bagi karyawannya yang jaga malam secara bergantian. Setidaknya tetap ada petugas yang stand by jikalau ada apa-apa atau mendadak terjadi hal yang emergency. Itu pun menjadi tidak berlaku jika ruangan sedang dipenuhi oleh pasien gawat. Misalnya, saya pernah kedatangan lima pasien gawat sekaligus di waktu yang bersamaan saat jam telah melewati tengah malam. Seketika itu juga seluruh petugas bangun dan memberikan pelayanan; bahkan para perawat di bangsal rawat inap pun sampai datang membantu karena keterbatasan jumlah perawat di UGD.

Tapi mengapa bapak gubernur melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti yang telah kita lihat? Apakah karena bapak ZZ tidak paham? Bisa jadi, karena beliau tidaklah berlatar belakang kesehatan. Apakah—seperti kata beberapa orang di medsos— karena “pencitraan”? Saya tidak ingin berprasangka buruk demikian, karena untuk melakukan “pencitraan”, ada banyak cara yang lebih memikat ketimbang capek-capek ke rumah sakit di waktu dini hari.

medical-resident-sleeping-overworked-doctors-mexico-yo-tambien-mi-dormi-27Saya selalu beranggapan bahwa tidak akan ada asap jika tidak ada api. Di rekaman bapak gubernur mengatakan bahwa ia ke RS tersebut karena mendapat laporan dari masyarakatnya. Selain itu, pak ZZ juga merasa kesal karena RS tersebut kekurangan stok obat demam berdarah. Walaupun “kekurangan stok obat demam berdarah” rasanya absurd karena obat demam berdarah hanyalah cairan infus dan paracetamol—yang rasanya mustahil RS tidak memilikinya—, tapi itu menunjukkan kualitas RS yang perlu dieavaluasi.

Kejadian di Jambi setidaknya perlu kita lihat dengan sudut pandang yang lebih luas; sudah menjadi hal biasa ketika masyarakat mengeluhkan kualitas pelayanan rumah sakit umum. Ketika ada pilihan rumah sakit swasta yang jaraknya terjangkau, masyarakat akan lebih memilihnya. Jika melayani pasien BPJS, pasien kelas III/Jamkesmas pun akan berbondong-bondong mencoba ke RS swasta terlebih dahulu. Jumlah kasur untuk pasien kelas III/Jamkesmas di RS swasta biasanya tidak banyak, sehingga para pasien yang terlambat datang akan segera dioper ke Rumah Sakit Umum yang memang memyediakan jumlah lebih banyak untuk pasien kelas tersebut. Setidaknya ini terbukti ketika saya berkali-kali mendengar keluhan rekan kerja RSU yang juga bekerja di RS swasta, “Pasien di RS swasta sebelah banyak banget, jauh lebih banyak daripada RS ini.”

Mengapa RSU identik dengan pelayanan yang tidak memuaskan? Mengapa RS swasta pelayanannya selalu lebih baik? Apakah memang sistem kesehatan di negara kita memang selalu tebang pilih terhadap pasien tak mampu?

Kita semua tahu bahwa RS swasta, layaknya perusahaan, berorientasi kepada profit. Tarif yang rata-rata “tidak murah” diterapkan bagi para pasien yang ingin berobat di sana. Sebagai gantinya, lembaga itu akan memberikan pelayanan yang maksimal: para karyawan yang penuh senyum, fasilitas yang lengkap, lantai yang bersih, ruangan yang wangi, obat-obatan yang jumlahnya banyak, dll. Untuk mendukung kebijakan pemerintah, banyak RS swasta menyediakan bed khusus pasien BPJS. Namun, biaya klaim yang dibayarkan oleh BPJS cenderung membuat RS swasta rugi jika dibandingkan dengan pelayanan dan fasilitas prima yang diberikan. Tak ingin gulung tikar, biasanya bed untuk pasien BPJS pun dibatasi.

Kondisi berbeda dialami rumah sakit milik pemerintah. Ia eksis untuk memberikan pelayanan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk pasien tidak mampu. Semua “kerugian” akibat klaim BPJS yang rendah harus ditelan dalam-dalam oleh RSU. Ketiba sebuah RSU ingin membuka ruang rawat intensif, saya sempat dengar bisik-bisik dari pihak manajemen, “Kalau ICU dibuka untuk pasien BPJS, sudah dipastikan merugi.”

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

Bagaimana nasib sebuah lembaga yang harus mengalami kerugian tanpa boleh mengeluh? Rumah sakit umum tidak memiliki hak untuk menolak pasien BPJS demi menjaga diri dari kerugian; terbayang jika hal itu dilakukan, ada berapa media massa yang akan menjadikannya sebagai headline? Bisakah RS tersebut memiliki fasilitas yang mantap jika terus dilanda kerugian? Apakah kita bisa berharap RS pemerintah selalu lengkap stok obatnya dan tidak kekurangan persediaan “obat demam berdarah”? Apakah lantainya bisa terus dijaga bersih, toiletnya wangi, kamarnya harum, dan sebagainya, dan sebagainya? Kemudian, bagaimana RS tersebut menggaji para karyawannya? Bisakah ia memberikan penghasilan yang layak bagi dokter, perawat, bidan, petugas farmasi, dan lain-lainnya?

Ini adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri di dunia ini, bahwa performa kerja seseorang dipengaruhi oleh pemasukan yang diterima. Loh, bukankah dokter itu tugasnya adalah membantu sesama manusia ya?  Bukannya dokter itu harus punya jiwa sosial sehingga tidak boleh memikirkan materi?

Pemikiran ini perlu diluruskan. Dokter adalah sebuah profesi, yang untuk memperoleh gelar profesi itu memerlukan pengobarnan yang tidak sedikit, termasuk pengorbaanan harta/materi. Berapa biaya sekolah agar seseorang menjadi dokter? Ketika pertama kali masuk, orang tua siswa harus mengocek puluhan bahkan ratusan juta demi mengamankan kursi di fakultas kedokteran. Setelah itu, belasan juta harus diterbangkan tiap semesternya untuk biaya pendidikan. Biaya di atas belum termasuk pengeluaran untuk textbook yang terkenal tebal dan mahal. Lima hingga enam tahun adalah waktu yang harus dikorbankan agar menjadi dokter. Belum lagi setelah lulus harus menjadi dokter internsip dengan gaji seadanya (dan sering terlambat) dan, kabarnya, setelahnya harus mengikuti program Dokter Layanan Primer selama 2 tahun.

Menuntut dokter untuk bekerja sosial tanpa memberinya hak untuk memikirkan materi berarti tidak menghargai profesi tersebut. Jika profesi-profesi lainnya boleh dihargai (baca: digaji), mengapa dokter tidak boleh? Selain itu, dokter juga adalah manusia biasa yang memerlukan kebutuhan hidup sehari-hari hingga menafkahi istri dan anak-anaknya.

Ketika seorang pejabat melakukan sidak dan mendapati pelayanan dari tenaga medis yang kurang memuaskan, coba ditelusuri terlebih dahulu, apakah mereka mendapatkan penghasilan yang memadai? Apakah pengorbanan dan jenjang pendidikan mereka sudah sesuai dengan gaji yang diberikan? Lama dan beban kerja mereka apakah juga diperhitungkan? Berapa banyak tenaga medis yang telah bekerja selama bertahun-tahun namun tetap saja berstatus honorer?

Dokter dan para tenaga medis adalah orang-orang yang harus stand by ketika kebanyakan orang mudik di waktu lebaran. Mereka juga adalah orang-orang yang harus menangani korban kecelakaan akibat mabuk dan korban luka bakar akibat petasan di malam tahun baru. Mengingat beban kerja mereka, apakah penghargaan yang diberikan selama ini sudah layak sehingga pemerintah bisa mengharapkan pelayanan yang penuh kualitas?

Jika dalam sidak ditemukan pelayanan RS yang kurang memuaskan, maka sudah saatnya untuk mengevaluasi akar dari permalasahan tersebut, bukan hanya menyalahkan tenaga medis yang tidur ayam saat keadaan ruangan tenang. Indonesia masih perlu melangkah jauh agar dapat menerapkan sistem kesehatan yang berkeadilan dan manusiawi, yaitu memanusiakan masyarakat dan juga tenaga kesehatannya. Penyediaan sarana kesehatan dan obat-obatan yang merata di seluruh penjuru juga merupakan pekerjaan rumah yang hingga kini belum tuntas.

Begitu pula bagi para tenaga kesehatan, ada baiknya juga kita melakukan evaluasi terhadap diri sendiri. Walaupun, katakanlah, penghargaan yang diterima dirasa tidak layak, tetapi tetap merupakan kewajiban untuk memberikan pelayanan yang humanis. Terkadang apa yang dibutuhkan pasien bukanlah obat dan skill medis yang mumpuni, namun komunikasi yang efektif. Sudah banyak cerita di lapangan bahwa dokter yang kurang dari sisi pengetahuan dan skill namun mampu berkomunikasi dengan baik lebih disukai masyarakat ketimbang dokter bergelar tinggi tapi gaya bicaranya tidak menyenangkan. Yang menyebabkan dokter dituntut ke meja hijau kebanyakan bukanlah tidak mampu mengobati pasien hingga sembuh, tapi karena tidak mampu berkomunikasi kepada pasien dan keluarga.

Evaluasi dari kedua belah pihak, yaitu stakeholder dan tenaga kesehatan, dibutuhkan untuk menunjuang perbaikan sistem kesehatan negeri ini. Saling menyalahkan atas pelayanan yang buruk tidaklah akan memecahkan masalah. Pemerintah wajib terus melakukan perbaikan dan menyediakan sistem yang semakin baik, juga dokter dan paramedis wajib bekerja secara maksimal—meskipun penghargaannya kurang—sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dan juga ibadah kepada Tuhan.

Categories: kesehatan, merenung | Tags: , , , , , , | Leave a comment

Desentralisasi BPJS: Tidak Mampunya Pemerintah Menanggung Beban Berat

Ketika muncul berita bahwa Bapak Presiden mewacanakan pengelolaan BPJS oleh Pemda, isi dari berita itu sudah bisa ditebak. Benar saja, alasan mengapa pemerintah pusat ingin membagi tanggung jawabnya ialah soal pendanaan. Dana BPJS telah menjadi beban bagi APBN karena lembaga tersebut terus mengalami defisit anggaran.

Semenjak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dilaksanakan tahun 2014, BPJS sebagai lembaga penyelanggara jaminan tersebut selalu merugi dalam angka yang besar. Nilai defisit terus menukik tiap tahunnya layaknya pendaki. Pada tahun 2014, adanya ketidaksesuaian antara pemasukan dan pengeluaran atau mismatch mencapai 3.3 triliun, lalu menjadi 5.85 triliun setahun berikutnya. Di tahun ini, diproyeksikan defisit BPJS mencapai 7 triliun.

Banyak pemerhati dan pakar yang berpendapat, ketika pemerintah mewajibkan warganya untuk menjadi anggota BPJS, pelaksanaan jaminan sosial berskala nasional ini masih penuh ketidaksiapan. Penyelenggara berkilah bahwa perbaikan akan dilakukan sambil berjalan, dengan target tahun 2019 seluruh warga Indonesia ter-cover BPJS. Tapi nyatanya perjalanan waktu tidak serta merta membuat pengelolaan BPJS menjadi lebih baik. Kerugian yang terus melambung membuat badan ini harus “mengemis” sunitkan dana ke pemerintah. Presiden sudah berkali-kali mengatakan ke Menteri Kesehatan bahwa kerugian BPJS ini menjadi beban yang sangat berat.

Atas dalih itu, pemerintah pusat tidak ingin menanggungnya sendirian. Beban yang sangat berat, yang sampai membuat nyeri punggung negara ini, hendak dibagi-bagikan ke pemerintah daerah,demi terselamatkannya APBN untuk alokasi hal-hal lain. Jokowi menskemakan pemerintah pusat akan memberikan dana dalam jumlah tertentu untuk daerah. Bila terjadi kekurangan alias defisit, pemda-lah yang bertanggung jawab mengisi lubang itu. Pertanyaannya, apakah dengan skema seperti ini rakyat semakin diuntungkan, atau malah semakin menderita?

Desentralisasi BPJS akan membuat ketimpangan antar daerah dari barat sampai timur Nusantara. Kita paham bahwa Indonesia yang luas ini mememiliki kondisi daerah yang beragam: ada yang makmur karena punya banyak pemasukan, ada pula yang penuh kemiskinan. Ketidakrataan kondisi ini tentu akan membuat kualitas jaminan kesehatan tiap daerah berbeda. Wilayah yang makmur akan mampu memberikan jaminan kesehatan yang berkualitas—mungkin tidak akan ada cerita pasien ditolak di UGD karena khawatir tidak akan dibayar klaimnya. Sebaliknya, bagi daerah yang masih berkembang, akan apa jadinya? Bagaimana bila pemda tidak mampu membiayai tagihan yang membludak? Bisakah bantuan dari pusat diharapkan, padahal presiden mengatakan pemdalah yang harus menanggung?

Jika klaim perawatan tidak bisa dibayarkan, pihak yang rugi pertama adalah fasilitas kesehatan. Kemudian yang menjadi korban selanjutnya adalah para tenaga kesehatan di dalamnya—dokter, perawat, bidan, dll—yang memiliki keluarga untuk dinafkahi. Fasilitas kesehatan yang merugi akan berdampak pada pelayanan yang buruk; akhirnya masyarakat jugalah yang menjadi korban. Apakah ketidakadilan antardaerah seperti ini yang diinginkan?

Itu baru tentang ketidakmampuan daerah dalam meng-cover. Jika pemda diberi dana oleh pusat untuk mengelola BPJS, apakan 100% seluruh uang itu akan dioper untuk layanan kesehatan? Sudahlah, kita semua sering bisik-bisik mengenai dana pembangunan daerah yang entah melayang ke mana. Desentralisasi jaminan kesehatan akan sangat membuka celah besar korupsi daerah. Jika penyalahgunaan dana terjadi di pusat, pengawasan dan pengkoreksiannya akan lebih mudah dilakukan. Bagaimana jika korupsi itu tersebar di daerah dari Sabang sampai Merauke? Sekali lagi, adakah desentralisasi pengelolaan BPJS menjadi solusi bagi rakyat Indonesia?

DLP Bukanlah Solusi

Kemarin hari, tepatnya tanggal 24 Oktober, ribuan dokter Indonesia berdemonstrasi di Jakarta. Tuntutan mereka sederhana: tolak program Dokter Layana Primer. Kaum professional berjas putih ini turun ke jalan karena tidak puas terhadap pemerintah ysng enggan mendengar aspirasi mereka.

Menurut Undang-Undang Pendidikan Dokter terbaru, dokter umum harus menjadi Dokter Layanan Primer agar bisa bekerja di fasilitas kesehatan primer. Sederhananya, seorang yang telah menempuh pendidikan 5-6 tahun untuk menjadi dokter umum, lalu mengikuti program internsip selama 1 tahun, harus sekolah lagi 2 tahun supaya bisa bekerja di puskesmas atau klinik primer yang menangani pasien BPJS. Jadi, total waktu yang dibutuhkan sekitar 8-9 tahun untuk benar-benar bisa bekerja mandiri. Perjalanan yang sangat panjang, bukan?

Mengapa harus ada pendidikan DLP? Mungkin bisa dibilang ini pertanyaan paling misterius bagi kebanyakan dokter di Indonesia. Muncul berbagai pernyataan yang berusaha menjawab pertanyaan itu. Ada yang bilang DLP sebenarnya memiliki kompetensi yang sama dengan dokter umum, namun level-nya setara dokter spesialis. Ada juga yang mengatakan DLP memiliki orientasi kesehatan komunitas, sehingga ia bekerja sebagai dokter keluarga. Ada lagi yang bilang—sepertinya ini yang paling resmi karena dari pemerintah—DLP diadakan karena kompetensi dokter umum yang ada saat ini dirasa kurang untuk bekerja di fasilitas primer.

Adanya berbagai versi mengenai DLP cukup menggelitik karena itu sudah menjelaskan bahwa konsepnya sendiri masih digodok. Yang paling membuat geli adalah pernyataan bahwa dokter umum sekarang “tidak cukup kompeten”. Menurut pemerintah, kompetensi dokter umum yang ada sekarang ini hanyalah mendiagnosis dan menangani 100 kasus penyakit, sedangkan DLP 155 penyakit—jumlah yang menurut pemerintah harus bisa ditangani di fasilitas primer. Padahal, di setiap fakultas kedokteran, calon dokter telah dididik untuk bisa menangani sendiri sebanyak 144 kasus sesuai Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Entah kenapa sekarang dikurangi menjadi 100, dan jumlah kasus yang harus bisa ditangani bertambah menjadi 155.

Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak sekali kasus yang seharusnya bisa ditangani di puskesmas tapi dirujuk ke Rumah Sakit. Membludaknya pasien rujukan di RS jelas menyuramkan keuangan BPJS yang berujung ke defisit anggaran. Kenapa puskesmas banyak merujuk pasien? Ya, ini adalah pertanyaan yang sangat penting: kenapa bisa demikian?

Benarkah pasien banyak dirujuk karena dokter umum yang tidak kompeten? Pelaku layanan di lapangan akan mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah minimnya sarana-prasarana kesehata/n. Apakah setiap puskesmas memiliki fasilitas laboratorium? Jika pun ada, berapa banyak yang bisa melakukan pemeriksaan kimia darah? Apakah di setiap puskesmas memiliki alat rekam jantung (EKG)? Ada alat pemeriksaan X-Ray/rontgen? Berapa banyak yang terpaksa merujuk ke RS karena tidak punya fasilitas rawat inap, bahkan antibiotik injeksi pun tak ada?

Katakanlah di puskesmas ada Dokter Layanan Primer yang sepenuhnya kompeten terhadap 155 penyakit. Bisakah dia menangani pasien yang datang karena asma tapi tidak ada alat nebulisasi?

Pembukaan pendidikan DLP mau tak mau memakan biaya dari pemerintah. Anggaran kesehatan yang sudah banyak tersedot untuk suntikan BPJS akan terkurangi lagi untuk biaya program studi baru. Banyaknya dana yang terkuras akan membuat alokasi untuk penyediaan sarana-prasarana kesehatan semakin berkurang, dan ini tentu membuat kualitas pelayanan kesehatan akan terus stagnan. Apalagi saat ini Bapak Presiden menyerukan agar dilakukan penghematan anggaran. Dibukanya program DLP justru kontraproduktif dengan pengembangan layanan kesehatan dan program pemerintah sekarang.

Mencari Jawaban Bersama

Pakar-pakar kesehatan masyarakat telah menyampaikan pandangannya mengenai kerugian yang dialami BPJS. Solusi yang banyak disarankan adalah perlunya menaikkan angka iuran. Menurut Prof. Hasbullah Thabrany, pakar ilmu kesehatan masyarakat dari UI, jumlah premi yang ada sekarang tidak mencapai 40% dari yang disarankan ahli kesehatan masyarakat. Iuran yang dinaikkan tentu akan memberikan beban bagi masyarakat, tapi itu adalah langkah yang perlu karena biaya pengobatan itu tidak murah. Jika masyarakat mengenah bawah penerima BPJS kelas III merasa sangat berat bila biaya dinaikkan, maka premi kelas di ataslah yang mesti dinaikkan untuk memberikan subsidi silang. Dengan demikian, makna “asuransi berprinsip gotong royong” lebih terasa.

Masih menurut Prof. Hasbullah, perbaikan sarana/prasarana kesehatan juga hal yang penting untuk perbikan JKN kita. Telah dijelaskan di atas, sarana yang minim hanya akan menyuburkan angka rujukan. Terakhir, menurut beliau adalah sistem reward bagi fasilitas primer yang berkinerja baik dan yang mampu melakukan kegiatan preventif (pencegahan) dan promosi kesehatan dengan efektif. Kegiatan preventif-promotif memiliki sasaran masyarakat yang sehat, menargetkan bagaimana mereka yang tidak sakit menjadi semakin sehat dan tidak perlu berobat, yang gencar diharapkan menurunkan angka kesakitan. Preventif-promotif yang efektif tidak hanya menurunkan angka kesakitan dan menaikkan angka harapan hidup, tapi juga akan menghemat anggaran kesehatan.

BPJS juga perlu memikirkan bagaimana agar ia sebagai lembaga bisa menghasilkan keuntungan. Sistem BPJS yang memukul sama rata semua pelanggannya hakikatnya tidak mendidik masyarakat dan hanya menggali kuburan sendiri. Sebagai contoh, seorang perokok aktif sudah seharusnya membayar premi berkali-kali lipat dibandingkan dengan yang tidak merokok. Hal itu wajar karena sikapnya yang buruk membuatnya beresiko besar membutuhkan perawatan yang memakan biaya besar. Begitu pula dengan peminum alkohol.

Seperti halnya lembaga asuransi yang lain, sebaiknya BPJS diberi hak untuk mestratifikasi pesertanya, misalnya dengan melakukan prescreening. Kondisi kesehatan yang sudah dimiliki peserta bisa menjadi pertimbangan untuk besaran premi yang akan dibayarkan. Tak bisa dipungkiri, dana BPJS banyak terpakai oleh mereka yang telah mengidap penyakit kronis. Setiap bulan BPJS harus membayar klaim mereka yang memang harus rutin meminum obat penyakit kronis hingga cuci darah. Sebaliknya, seorang yang kondisi dasarnya sudah sehat akan jarang menggunakan fasilitas kesehatan. Prinsip keadilan berdasarkan preexisting condition dapat dipertimbangkan, tanpa menyingkirkan prinsip gotong royong tentunya.

Ketaatan peserta untuk rutin membayar iuran juga adalah hal yang sangat penting. Para peserta pekerja bukan penerima upah merupakan golongan yang banyak membebani. Mereka membayar iuran tidak seperti pekerja yang langsung dipotong gajinya. Golongan ini beresiko besar baru membayar BPJS ketika akan membutuhkan pelayanan kesehatan, dan begitu sudah tidak sakit, iuran tidak dipenuhi lagi. Untuk mengatasi ini, sudah saatnya memikirkan cara-cara kreatif untuk meningkatkan kepatuhan, selain adanya denda. Perlu ditambah fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk membayar, misalnya optimalisasi sistem layanan online. Selain itu, jika ada sistem punishment, mengapa tidak ada reward? Kemal Imam Santoso, mantan direktur PT Askes, menyarankan adanya diskon bagi peserta yang telah membayar iuran selama 6 bulan atau 1 tahun ke depan.

Perjalanan menuju negara yang sejahtera melalui sistem jaminan sosial nasional masih amatlah panjang. Kita belumlah seperti National Health Service di Inggris, yang ketika ada pelayanan kesehatan, pasien tidak perlu khawatir ada obat yang tidak dijamin, pun tenaga dan fasilitas kesehatan dapat bekerja dengan tenang karena sudah pasti akan dibayarkan klaimnya. Kondisi ekonomi negara ini, mengutip kata Menteri Keuangan, masih selevel liga kelurahan. Berhutang harus kembali dilakukan untuk membayar hutang. Namun, itu bukanlah alasan untuk tidak optimis bahwa sistem asuransi kesehatan nasional kita dapat dibenahi agar benar-benar menyejahterakan rakyatnya.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , , , , , , | 1 Comment

Apakah Memberikan Layanan Pengobatan Gratis Merupakan Hal yang Tepat?

Ada banyak cara bagi manusia untuk beramal. Bahwa hidup sebagai bentuk ibadah kepadaNya telah direalisasikan oleh banyak orang dengan memberi bantuan kepada sesama secara ikhlas. Begitu juga bagi mereka yang dipandang oleh kebanyakan masyarakat sebagai orang dengan profesi bergengsi: dokter. Tidak perlu diragukan bahwa fakultas kedokteran merupakan salah satu destinasi pendidikan yang sangat diminati. Amat banyak yang berlomba-lomba agar dapat bekerja sambil mengenakan jas putih. Apa alasannya? Tak bisa dihindari, bahwa dokter sering diidentikkan dengan kesejahteraan tinggi.

Tapi prestise seperti itu untungnya tidak melunturkan kejernihan hati mereka yang idealis. Sebut saja dokter Lo. Laki-laki yang bernama lengkap Lo Siaw Ging ini tidak pernah menetapkan tarif. Dari rata-rata 60 pasien setiap harinya yang datang berobat, sekitar 70% tidak membayar dan beliau tidak keberatan. Tempat praktek yang juga rumahnya di Solo itu tidak hanya dipenuhi oleh pasien dari kota yang sama, tapi juga dari kota-kota sebelah. Begitu pula Prof. Aznan Lelo, seorang guru besar farmakologi klinik di Medan, membuka praktik tanpa papan nama. Beliau akan merasa tersinggung jika ada pasien yang datang berobat dan menanyakan harga jasanya. Ya, beliau tidak ambil pusing berapa pun bayaran yang pasien berikan, atau bahkan jika tidak dibayar sama sekali. Tetap saja mereka dilayani dengan obat racikannya sendiri atau obat-obat resep yang harganya terjangkau.

Dokter Lo via biografiku.com

Dokter Lo via biografiku.com

Prof-Dr-Aznan-1

Prof. Dr. Aznan Lelo via silet.info

Dua di atas hanyalah sebagian dari banyak cerita yang ada. Tentu masih banyak dokter-dokter yang rela bekerja dengan tidak memikirkan apakah mereka dibayar atau tidak. Keinginan mereka hanyalah menjalankan profesi sebaik-baiknya untuk menolong yang membutuhkan. Kita harus bersyukur, di tengah persaingan ketat dan biaya sekolah kedokteran yang tidak murah, masih banyak yang ingin membaktikan dirinya untuk kemanusiaan,

Nilai positif dari hal ini tentu tidak diragukan, namun apakah memberikan layanan pengobatan gratis adalah hal yang tepat? Apalagi saat ini Indonesia sudah memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan sistem kesehatan yang bermaksud meng-cover seluruh masyarakat tanpa terkecuali, masih perlukah mereka dilayani di klnik-klinik yang membebaskan biaya?

Sayangnya kesejahteraan negeri ini belumlah merata dengan baik. Ekonomi yang buruk telah membentuk mental masyarakat kita yang menyenangi semua yang bersifat gratis, bahkan menuntutnya. Lihat saja jika ada yang mengadakan bakti sosial balai pengobatan gratis. Orang-orang akan berbondong-bondong, bahkan yang tidak sakit pun ikut datang. Karena ada yang gratis, yang sehat pun akan merasa dirinya sakit demi mendapat obat secara cuma-cuma. Ketidaksenangan bisa muncul jika tidak diberi obat karena dokter memutuskan bahwa mereka sehat wal afiat. Juga jika orang-orang kesehatan dari kota ingin melakukan screening atau survey kesehatan ke desa. Mereka akan kecewa, atau bahkan kurang menyambut dengan hangat, jika tidak diiringi dengan pengobatan gratis.

Setelah balai pengobatan selesai, selesaikah masalah kesehatan masyarakat tersebut? Tentu tidak. Masalah kesehatan yang bermula dari minimnya pendidikan, gizi yang kurang, dan sanitasi buruk tidaklah terpecahkan. Untuk kontrol ke puskesmas pun bisa jadi enggan karena akses yang sulit.

Dokter Sedang Memberikan Layanan di Balai Pengobatan

Dokter Sedang Memberikan Layanan di Balai Pengobatan

Bukankah layanan klinik pengobatan cuma-cuma dapat semakin menanamkan mental mereka yang ingin serba gratis?

Adanya tempat yang memberikan layanan gratis juga dapat memberikan edukasi yang buruk kepada masyarakat. Untuk apa menjaga dan memelihara kesehatan? Toh, ada dokter yang mau memeriksa dan memberikan obat tanpa biaya. Tidak apa terus merokok atau minum alkohol atau tidak mengontrol makanan, nanti kalau merasa sakit tinggal datang ke dokter dan dapat obat. Setidaknya, senior saya yang sempat membuka tempat praktik gratis memutuskan untuk menghentikannya karena alasan di atas.

Selain itu, sebenarnya layanan klinik gratis kurang selaras dengan sistem JKN yang telah diterapkan sekarang. Bagaimana bila klinik gratis ada di mana-mana, masyarakat menjadi berpikir, “Jika bisa berobat gratis, untuk apa capek-capek bayar iuran BPJS per bulan?” Terlebih, layanan bagi peserta BPJS hingga saat ini terkenal tidak memuaskan. Bukankah lebih baik datang saja ke klinik yang bersedia tidak mematok tarif? Pemikiran ini bisa berakibat fatal.

Semenjak diluncurkan di awal tahun 2014, pelaksanaan JKN menuai banyak ketidakpuasan. Sampai sekarang, nada-nada miring tentang BPJS masih bergema. Inti permasalahan dari sistem kesehatan sekarang ialah adanya defisit (orang BPJS menolak disebut ‘defisit’ tapi ‘mismatch’).

Ralat, bukan sekedar ada, tapi sangat besar. Pada 2014, BPJS mengalami defisit sebesar 3,3 triliun dan pada tahun 2015 mengalami kenaikan menjadi 6 triliun. Ini dikarenakan jumlah peserta BPJS terus mengalami peningkatan, sedangkan penerimaan yang diperoleh sangat tidak seimbang dibanding pengeluaran. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Prinsip dari sistem asuransi kesehatan nasional ialah gotong royong. Sumber pendanaan untuk membiayai pelayanan kesehatan seluruh warga Indonesia yang terdaftar ialah dari iuran premi per bulan—selain suntikan dana dari pemerintah. Jika banyak peserta yang tidak taat untuk terus membayar per bulan, maka merugilah ia.

Peserta yang paling membebani JKN ialah golongan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Tidak seperti karyawan yang langsung dipotong gajinya untuk iuran BPJS, mereka mesti membayar sendiri secara manual, dan resiko ketidakdisiplinan sangat besar. Yang sangat disayangkan lagi ialah moral yang sangat buruk dari peserta ini. Mereka akan membayar BPJS jika sedang menderita sakit atau membutuhkan perawatan. Sebagai asuransi sosial, BPJS wajib langsung menanggung biaya pengobatannya. Tapi, setelah sembuh, banyak dari mereka yang tidak mau membayar iuran lagi. Bisa dibayangkan, orang yang baru daftar BPJS dengan membayar 30 ribu langsung mendapat layanan operasi seharga belasan juta? Dan setelah selesai operasi, ia tidak mau bayar iuran lagi?

Sudah pasti BPJS defisit.

Keuangan BPJS yang “rugi” ini berbuntut panjang. Besaran kapitasi dan klaim yang dibayarkan BPJS ke faskes/RS menjadi sangat kecil. Pelayanan berharga jutaan rupiah hanya dihargai ratusan ribu. Kapitasi yang tak seberapa membuat minimnya sarana dan obat-obatan yang tersedia di faskes tingkat pertama; pasien pun kemudian dirujuk. Rumah sakit menjadi penuh sesak oleh pasien-pasien rujukan. Pembayaran klaim atas pasien BPJS yang sangat rendah membuat RS menombok cukup besar. RS sudah pasti rugi jika ada pasien BPJS masuk ICU. Akibatnya, supaya tidak gulung tikar, RS swasta membatasi jumlah bed untuk peserta BPJS. Bagi yang tidak kebagian tempat, akan dirujuk ke RS pemerintah yang disokong keuangannya oleh pemerintah.

Jumlah pasien rujukan di RS pemerintah semakin membludak. Ruangan rawat inap atau ICU yang sudah penuh memunculkan headline berita “Rumah Sakit Menolak Pasien Miskin”. Pasien harus mengantri dari jam 2 pagi di loket untuk mendaftar ke poliklinik. Malas mengantri di poli, mereka datang langsung ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tapi sayang, karena tidak sesuai dengan kriteria gawat darurat yang BPJS tetapkan, akhirnya mereka harus membayar sendiri (tidak ditanggung BPJS). Tidak puas, pasien protes dan marah-marah ke dokter/RS yang hanya menjalankan protokol dari BPJS. Kondisi IGD juga seperti festival pasar malam karena saking penuhnya. Jumlah pasien yang sangat banyak membuat para dokter kelimpungan dan kelehahan; misdiagnosis seperti penyakit jantung yang dikira sakit mag pun terjadi….Tidak perlu bicara tentang besaran honor untuk tenaga kesehatan yang sudah banyak dipotong.

Merugi, BPJS pun meminta injeksi dana dari pemerintah. Karena banyak untuk BPJS, alokasi anggaran kesehatan untuk Kementerian Kesehatan menjadi berkurang. Akibatnya, dana yang ada untuk menjalankan program-program Kemenkes dan meningkatkan sarana-prasarana kesehatan menjadi tidak optimal.

Buntut dari permasalahan defisitnya anggaran BPJS sangat panjang dan berdampak besar. Sudah defisit, banyak yang tidak mau ikut sistem gotong royong ini dengan mendaftar sebagai peserta; mereka memilih berobat saja ke klnik yang gratis. Bukankah dapat membuat keadaan semakin parah?

Jika memang pengobatan serba gratis hakikatnya tidak mendidik masyarakat dan juga berdampak negatif bagi sistem kesehatan, lalu apa yang bisa dilakukan? Tidak adakah celah bagi mereka para pengabdi yang benar-benar ikhlas ingin menolong orang untuk sukarela?

Saya pribadi berpendapat, hal yang tepat di era JKN ini ialah memperbanyak fasilitas kesehatan tingkat pertama. Puskesmas dan juga klinik-klinik tingkat pertama seharusnya menjadi ujung tombak dalam sistem kesehatan sekarang. Jika pelayanan primer baik dan maksimal, jumlah rujukan akan berkurang; biaya yang dikeluarkan bisa tertekan. Dana yang ada pun bisa lebih dioptimalkan untuk peningkatan kualitas layanan.

Mungkin akan sangat baik jika memperbanyak klinik-klinik primer BPJS. Dokter di klinik itu mengajak seluruh warga di sekitarnya untuk mendaftar BPJS. Tidak hanya itu, tugas tenaga kesehatan juga untuk memotivasi mereka supaya taat bayar iuran per bulan. Kesuksesan sistem kesehatan ini sangat bergantung dari ketaatan pesertanya untuk bayar iuran. Selain pembiayaan pelayanan, BPJS juga mengalokasikan untuk program promotif dan preventif yang bisa dilaksanakan oleh klinik-klinik pratama. Syukur benar jika masyarakat benar-benar berhasil diberdayakan untuk menjaga kesehatannya sendiri, sehingga biaya untuk pengobatan juga bisa kembali dihemat.

Tantangan dari pendirian klinik BPJS ini mungkin ialah kapitasi yang tidak seberapa. Hal ini membuat klinik-klinik melakukan penghematan sebisa mungkin, contohnya penyediaan jumlah obat-obatan. Jenis-jenis obat yang ada juga terpaksa dibatasi. Bagian inilah yang bisa menjadi celah bagi seorang pengabdi. Mungkin pendirian klinik bukanlah penghasilan utamanya: ia bisa mencari nafkah dari pekerjaan lain, dan sebagian dari pemasukannya “disumbangkan” untuk pembiayaan layanan kliniknya yang tidak ter-cover kapitasi BPJS.

Semakin banyak orang yang taat membayar iuran, pemasukan BPJS akan semakin besar, defisit menurun bahkan mungkin saja bisa jadi surplus (kita berdoa supaya bisa demikian). Jika anggaran cukup, memiliki sistem asuransi kesehatan nasional yang berkualitas seperti NHS di UK bukanlah mimpi. Ah, tapi tentu saja harus diiringi dengan evaluasi dan perbaikan terus-menerus dari sistem yang ada sekarang.

Namun penghormatan besar tetaplah harus diberikan kepada mereka para pengabdi yang ikhlas. Ketika orang-orang lain mengeluhkan kondisi ekonomi yang semakin lesu, masih ada yang menyimpan energi positif untuk memberi. Yaitu mereka yang tidak takut miskin; yang memiliki pemikiran bahwa dengan semakin banyak memberi, maka akan semakin kaya. Jikalah bukan kaya harta, setidaknya memiliki kekayaan hati yang senantiasa bersyukur dengan kehidupan yang sederhana.

Semoga semakin banyak kaum profesional yang tulus seperti Prof. Aznan Lelo, dr. Lo, dan dokter-dokter lain yang bekerja dengan orientasi kemanusiaan, bukan penghasilan. Sebagai anak Indonesia, kita juga tidak boleh kehilangan rasa optimis bahwa negara ini masih bisa memperbaiki sistem kesehatannya menjadi mumpuni.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , | 1 Comment

Blog at WordPress.com.