Posts Tagged With: sidak

Sidak Gubernur dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Umum

“Pak, saya mau ganti mobil ban Avanza. Merk apa ya yang bagus tapi murah?” kata saya kepada seorang bapak-bapak berbaju putih.

“Oh, ini aja, Pak. Ini dari Korea, harga masih murah, kualitas ga kalah bagus!” jawabnya.

Saya yang kurang mengerti masalah per-ban-an mengiyakan aja kata bapak penjual itu. Lagipula, merk yang disebutnya banyak terlihat di spanduk-spanduk di jalan. Mungkin saja memang bagus, apalagi buatan Korea, heheheh.

Tak lama para petugas bengkel selesai memasangkan ban yang baru. Memang, mobil Avanza hitam yang sengaja disewa untuk mobilisasi kami, anak-anak internsip, selama setahun sejak awal sudah punya banyak masalah.

“Berapa semua, Pak?” Bapak penjual berbaju putih itu berjenggot dan istrinya berjilbab lebar. Melihat penampilan mereka, saya sedikit mengajak ngobrol ringan. “Mas kerja di mana?” tanyanya.

“Di Rumah Sakit Umum, Pak. Di UGD,” jawab saya.

“Oh, ini ada anak saya sakit. Awalnya, saya mau membawanya ke rumah sakit umum. Tapi…” suaranya menjadi pelan, “…tapi kata orang-orang pelayanan di rumah sakit umum buruk, ya?”

***

Seorang laki-laki usia 30-an, ditemani seorang wanita yang sepertinya istrinya, buru-buru datang ke UGD. “Dok, anak saya tadi kejang.”

Anak usia balita yang disebutnya datang dalam keadaan menangis dan sedikit rewel. Kata orang tuanya, anaknya sudah demam 2 hari. Melihat kondisi pasien yang sudah tidak kejang lagi, saya pun kembali memeriksa pasien yang sudah datang duluan. Tiba-tiba, suara laki-laki yang sama berteriak, “Sudah, sudah! Kita pulang saja! Ga usah dirawat!” Lalu orang itu beserta istri dan bapak-bapak tua—sepertinya kakek dari anak itu—keluar dari UGD sambil mengomel dan setengah membentak. Sepertinya, kakek pasien itu marah-marah karena cucunya tidak segera diperiksa.

Kami, para petugas di UGD, hanya bisa geleng-geleng kepala. “Ya, sudah lah.” Umumnya anak dengan kejang demam sederhana tidaklah dalam kondisi berbahaya. Selama memang kejangnya hanya sebentar dan setelah serangan sang anak sadar, pengobatan yang dilakukan hanyalah menurunkan panas badan sambil diobservasi. Lalu, kenapa mereka malah marah-marah?

Tak lama, saya pun bisa memaklumi amarah kakek tadi. Saat itu, tidak ada satu pun yang menghampiri mereka dan memberikan penjelasan mengenai kondisi anak. Tak ada pula dokter jaga yang menerangkan, “Pak, keadaan anak Bapak tidak gawat. Sekarang saya sedang memeriksa pasien lain yang sudah datang duluan. Mohon tunggu sebentar ya.”

***

Inspeksi mendadak (sidak) dari seorang Gubernur Jambi ke sebuah rumah sakit umum di wilayahnya menuai protes keras dari kalangan tenaga kesehatan. Para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya mengecam tindakan ala koboi bapak gubernur yang tidak mengerti keadaan saat itu dan kondisi tenaga medis yang berjaga malam. Saat sidak, memang terlihat kondisi ruangan yang beliau kunjungi sedang tenang dan sepi. Dikabarkan bahwa pak gubernur sidak jam 2 dini hari, waktu bagi para pasien rawat inap untuk tidur dan beristirahat. Melihat keadaan yang aman, tidak ada yang gawat, dan tidak ada keluarga pasien yang datang menyampaikan keluhan, wajar bagi para tenaga medis saat itu untuk memenuhi hak tubuh mereka untuk beristirahat sejenak.

Sidak Gubernur Jambi

Sidak Gubernur Jambi

Manusia telah diciptakan sedemikian rupa. Jam biologis manusia “dari sananya” memang demikian, yaitu waktu siang untuk beraktivitas dan waktu malam untuk beristirahat. Walaupun kita dari pagi sampai sore tidur terus bagaikan kerbau agar tersimpan tenaga untuk jaga malam, tetap saja tubuh akan terasa lelah dan pekerjaannya tidak akan sebaik siang hari. Kenapa bisa? Ya karena itu lah jam biologis manusia yang sudah di-set oleh Tuhan, sebagaimana yang Ia katakan dalam surat Al Furqon ayat 47, “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”

Di negara barat sana, sudah diatur bahwa dokter yang shift malam harus beristirahat. Di Inggris, misalnya, NHS mengharuskan dokter dinas malam untuk istirahat selama 30 menit untuk menghindari kesalahan kerja akibat kondisi tubuh yang lelah. Sudah ada banyak jurnal atau penelitian ilmiah yang menyatakan kesalahan dalam penanganan medis atau medical error paling banyak terjadi saat malam hari. Kesalahan-kesalahan yang berujung kerugian bagi pasien juga beresiko besar terjadi jika dokter yang menanganinya memiliki jam kerja yang berlebihan.

Adalah hal yang wajar bagi rumah sakit terakreditasi nasional untuk menerapkan jam tidur bagi karyawannya yang jaga malam secara bergantian. Setidaknya tetap ada petugas yang stand by jikalau ada apa-apa atau mendadak terjadi hal yang emergency. Itu pun menjadi tidak berlaku jika ruangan sedang dipenuhi oleh pasien gawat. Misalnya, saya pernah kedatangan lima pasien gawat sekaligus di waktu yang bersamaan saat jam telah melewati tengah malam. Seketika itu juga seluruh petugas bangun dan memberikan pelayanan; bahkan para perawat di bangsal rawat inap pun sampai datang membantu karena keterbatasan jumlah perawat di UGD.

Tapi mengapa bapak gubernur melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti yang telah kita lihat? Apakah karena bapak ZZ tidak paham? Bisa jadi, karena beliau tidaklah berlatar belakang kesehatan. Apakah—seperti kata beberapa orang di medsos— karena “pencitraan”? Saya tidak ingin berprasangka buruk demikian, karena untuk melakukan “pencitraan”, ada banyak cara yang lebih memikat ketimbang capek-capek ke rumah sakit di waktu dini hari.

medical-resident-sleeping-overworked-doctors-mexico-yo-tambien-mi-dormi-27Saya selalu beranggapan bahwa tidak akan ada asap jika tidak ada api. Di rekaman bapak gubernur mengatakan bahwa ia ke RS tersebut karena mendapat laporan dari masyarakatnya. Selain itu, pak ZZ juga merasa kesal karena RS tersebut kekurangan stok obat demam berdarah. Walaupun “kekurangan stok obat demam berdarah” rasanya absurd karena obat demam berdarah hanyalah cairan infus dan paracetamol—yang rasanya mustahil RS tidak memilikinya—, tapi itu menunjukkan kualitas RS yang perlu dieavaluasi.

Kejadian di Jambi setidaknya perlu kita lihat dengan sudut pandang yang lebih luas; sudah menjadi hal biasa ketika masyarakat mengeluhkan kualitas pelayanan rumah sakit umum. Ketika ada pilihan rumah sakit swasta yang jaraknya terjangkau, masyarakat akan lebih memilihnya. Jika melayani pasien BPJS, pasien kelas III/Jamkesmas pun akan berbondong-bondong mencoba ke RS swasta terlebih dahulu. Jumlah kasur untuk pasien kelas III/Jamkesmas di RS swasta biasanya tidak banyak, sehingga para pasien yang terlambat datang akan segera dioper ke Rumah Sakit Umum yang memang memyediakan jumlah lebih banyak untuk pasien kelas tersebut. Setidaknya ini terbukti ketika saya berkali-kali mendengar keluhan rekan kerja RSU yang juga bekerja di RS swasta, “Pasien di RS swasta sebelah banyak banget, jauh lebih banyak daripada RS ini.”

Mengapa RSU identik dengan pelayanan yang tidak memuaskan? Mengapa RS swasta pelayanannya selalu lebih baik? Apakah memang sistem kesehatan di negara kita memang selalu tebang pilih terhadap pasien tak mampu?

Kita semua tahu bahwa RS swasta, layaknya perusahaan, berorientasi kepada profit. Tarif yang rata-rata “tidak murah” diterapkan bagi para pasien yang ingin berobat di sana. Sebagai gantinya, lembaga itu akan memberikan pelayanan yang maksimal: para karyawan yang penuh senyum, fasilitas yang lengkap, lantai yang bersih, ruangan yang wangi, obat-obatan yang jumlahnya banyak, dll. Untuk mendukung kebijakan pemerintah, banyak RS swasta menyediakan bed khusus pasien BPJS. Namun, biaya klaim yang dibayarkan oleh BPJS cenderung membuat RS swasta rugi jika dibandingkan dengan pelayanan dan fasilitas prima yang diberikan. Tak ingin gulung tikar, biasanya bed untuk pasien BPJS pun dibatasi.

Kondisi berbeda dialami rumah sakit milik pemerintah. Ia eksis untuk memberikan pelayanan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk pasien tidak mampu. Semua “kerugian” akibat klaim BPJS yang rendah harus ditelan dalam-dalam oleh RSU. Ketiba sebuah RSU ingin membuka ruang rawat intensif, saya sempat dengar bisik-bisik dari pihak manajemen, “Kalau ICU dibuka untuk pasien BPJS, sudah dipastikan merugi.”

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

Bagaimana nasib sebuah lembaga yang harus mengalami kerugian tanpa boleh mengeluh? Rumah sakit umum tidak memiliki hak untuk menolak pasien BPJS demi menjaga diri dari kerugian; terbayang jika hal itu dilakukan, ada berapa media massa yang akan menjadikannya sebagai headline? Bisakah RS tersebut memiliki fasilitas yang mantap jika terus dilanda kerugian? Apakah kita bisa berharap RS pemerintah selalu lengkap stok obatnya dan tidak kekurangan persediaan “obat demam berdarah”? Apakah lantainya bisa terus dijaga bersih, toiletnya wangi, kamarnya harum, dan sebagainya, dan sebagainya? Kemudian, bagaimana RS tersebut menggaji para karyawannya? Bisakah ia memberikan penghasilan yang layak bagi dokter, perawat, bidan, petugas farmasi, dan lain-lainnya?

Ini adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri di dunia ini, bahwa performa kerja seseorang dipengaruhi oleh pemasukan yang diterima. Loh, bukankah dokter itu tugasnya adalah membantu sesama manusia ya?  Bukannya dokter itu harus punya jiwa sosial sehingga tidak boleh memikirkan materi?

Pemikiran ini perlu diluruskan. Dokter adalah sebuah profesi, yang untuk memperoleh gelar profesi itu memerlukan pengobarnan yang tidak sedikit, termasuk pengorbaanan harta/materi. Berapa biaya sekolah agar seseorang menjadi dokter? Ketika pertama kali masuk, orang tua siswa harus mengocek puluhan bahkan ratusan juta demi mengamankan kursi di fakultas kedokteran. Setelah itu, belasan juta harus diterbangkan tiap semesternya untuk biaya pendidikan. Biaya di atas belum termasuk pengeluaran untuk textbook yang terkenal tebal dan mahal. Lima hingga enam tahun adalah waktu yang harus dikorbankan agar menjadi dokter. Belum lagi setelah lulus harus menjadi dokter internsip dengan gaji seadanya (dan sering terlambat) dan, kabarnya, setelahnya harus mengikuti program Dokter Layanan Primer selama 2 tahun.

Menuntut dokter untuk bekerja sosial tanpa memberinya hak untuk memikirkan materi berarti tidak menghargai profesi tersebut. Jika profesi-profesi lainnya boleh dihargai (baca: digaji), mengapa dokter tidak boleh? Selain itu, dokter juga adalah manusia biasa yang memerlukan kebutuhan hidup sehari-hari hingga menafkahi istri dan anak-anaknya.

Ketika seorang pejabat melakukan sidak dan mendapati pelayanan dari tenaga medis yang kurang memuaskan, coba ditelusuri terlebih dahulu, apakah mereka mendapatkan penghasilan yang memadai? Apakah pengorbanan dan jenjang pendidikan mereka sudah sesuai dengan gaji yang diberikan? Lama dan beban kerja mereka apakah juga diperhitungkan? Berapa banyak tenaga medis yang telah bekerja selama bertahun-tahun namun tetap saja berstatus honorer?

Dokter dan para tenaga medis adalah orang-orang yang harus stand by ketika kebanyakan orang mudik di waktu lebaran. Mereka juga adalah orang-orang yang harus menangani korban kecelakaan akibat mabuk dan korban luka bakar akibat petasan di malam tahun baru. Mengingat beban kerja mereka, apakah penghargaan yang diberikan selama ini sudah layak sehingga pemerintah bisa mengharapkan pelayanan yang penuh kualitas?

Jika dalam sidak ditemukan pelayanan RS yang kurang memuaskan, maka sudah saatnya untuk mengevaluasi akar dari permalasahan tersebut, bukan hanya menyalahkan tenaga medis yang tidur ayam saat keadaan ruangan tenang. Indonesia masih perlu melangkah jauh agar dapat menerapkan sistem kesehatan yang berkeadilan dan manusiawi, yaitu memanusiakan masyarakat dan juga tenaga kesehatannya. Penyediaan sarana kesehatan dan obat-obatan yang merata di seluruh penjuru juga merupakan pekerjaan rumah yang hingga kini belum tuntas.

Begitu pula bagi para tenaga kesehatan, ada baiknya juga kita melakukan evaluasi terhadap diri sendiri. Walaupun, katakanlah, penghargaan yang diterima dirasa tidak layak, tetapi tetap merupakan kewajiban untuk memberikan pelayanan yang humanis. Terkadang apa yang dibutuhkan pasien bukanlah obat dan skill medis yang mumpuni, namun komunikasi yang efektif. Sudah banyak cerita di lapangan bahwa dokter yang kurang dari sisi pengetahuan dan skill namun mampu berkomunikasi dengan baik lebih disukai masyarakat ketimbang dokter bergelar tinggi tapi gaya bicaranya tidak menyenangkan. Yang menyebabkan dokter dituntut ke meja hijau kebanyakan bukanlah tidak mampu mengobati pasien hingga sembuh, tapi karena tidak mampu berkomunikasi kepada pasien dan keluarga.

Evaluasi dari kedua belah pihak, yaitu stakeholder dan tenaga kesehatan, dibutuhkan untuk menunjuang perbaikan sistem kesehatan negeri ini. Saling menyalahkan atas pelayanan yang buruk tidaklah akan memecahkan masalah. Pemerintah wajib terus melakukan perbaikan dan menyediakan sistem yang semakin baik, juga dokter dan paramedis wajib bekerja secara maksimal—meskipun penghargaannya kurang—sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dan juga ibadah kepada Tuhan.

Categories: kesehatan, merenung | Tags: , , , , , , | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.