Posts Tagged With: rumah sakit

Skandal Teman Sejawat

Cerita rumah tangga itu harus berakhir dengan kesedihan sekaligus amarah. Tidak sedikit pun sang suami menyangka bahwa pasangannya akan menipunya. Laki-laki itu pun hanya bisa memeluk kedua anaknya setelah ikatan pernikahan yang terjalin bertahun-tahun harus diputus begitu saja. Jika kisah rumah tangga dimulai dengan cinta dan kasih sayang, mengapa di tengah perjalanan cerita itu harus dipotong dengan pengkhianatan?

Adalah hal yang wajar jika seorang laki-laki merasa senang bisa menikahi seorang dokter. Terlebih, istrinya kelak akan menjadi dokter spesialis, sebuah profesi yang penuh prestise tinggi dan posisinya berada di atas dokter umum. Namun, apa daya proses pendidikan dokter spesialis yang tengah ditempuh menjadi bencana bagi kedua belah pihak. Godaan terhadap laki-laki lain sesama peserta pendidikan begitu besar dan tak bisa dibendung, yang berujung pemecatan keduanya dari institusi pendidikan. Jelas saja skandal tersebut tidak bisa ditoleransi oleh pihak kampus karena, sebagaimana sering diulang-ulang oleh para guru saya di fakultas kedokteran, hal yang utama untuk menjadi dokter itu adalah attitude, bukan ilmu atau skill. Orang yang tidak tahu, tidak paham, bahkan bodoh masih bisa diajari dan menjadi pintar dengan belajar, sedangkan orang yang ber-attitude buruk takkan bisa diubah, begitu komentar seorang professor suatu kampus pendidikan kedokteran. Setelah di-DO pun pasangan yang menjalin hubungan terlarang ini tidak bisa ke mana-mana karena nama mereka telah masuk black list, tak satu pun rumah sakit yang mau menampung. Tapi ketidakmampuan mereka untuk melanjutkan sekolah adalah yang remeh karena kerusakan terbesar akibat perselingkuhan itu adalah hati sang mantan suami dan anak-anaknya yang terluka.

Lain lagi kisah sepasang dokter residen di pulau Jawa. Tidak hanya pasangannya, seluruh teman-temannya bahkan teman lintas angkatan pun tak ada yang mengira. Pernikahan antara laki-laki dan perempuan sesama aktivis organisasi telah menjadi cerita romantis di kampus karena mereka merayakan panggung kebahagiaan sebelum melantunkan sumpah dokter. Berpasang-pasang telinga kagum mendengar perjalanan janji suci mereka yang begitu cepat layaknya cerita dongeng. Apa daya, lagi-lagi proses pendidikan dokter spesialis yang panjang dan melelahkan menjadi bisikan setan yang menabuh genderang perselingkuhan. Kali ini, pihak laki-lakinya yang tak mampu menahan nafsu terhadap sesama peserta didik satu departemen, meninggalkan istrinya yang juga tengah lelah menjalani pendidikan di departemen lain. Akhir ceritanya pun sama seperti sebelumnya, yakni pihak universitas tidak mentoleransi kelakuan biadab macam itu dan seorang anak terpaksa harus menerima kenyataan bahwa keluarganya tak lagi utuh.

Juga kisah memilukan yang melibatkan tiga dokter di suatu daerah di pulau Jawa yang sempat viral beberapa waktu lalu. Aktor dan aktris drama terlarang ini bukanlah orang yang sedang menjalani pendidikan melainkan tengah bekerja di satu rumah sakit yang sama. Salah satu dari pelaku ini baru saja menikah beberapa bulan yang lalu, belum genap setengah tahun rumah tangganya harus hancur berantakan, dan cerita ini tersebar ke mana-mana akibat kekuatan media sosial. Tak terbayang seberapa besar dirinya dan keluarganya harus menanggung malu akibat perbuatan haram ini. Saya pribadi tidak bisa menyepakati langkah yang diambil pihak yang dikhianati dengan mengumbar aib tersebut di internet walaupun mereka telah berpisah. Meski demikian, harus ada pelajaran yang diambil oleh kita yang terlanjur mengetahui kisah yang mengiris hati ini.

Cerita di atas adalah tiga dari beberapa yang terdengar. Skandal di rumah sakit bukanlah yang baru atau bahkan bukan hal yang asing. Silakan ketikkan kata-kata perselingkuhan dokter atau tenaga kesehatan di Google, maka akan ada banyak berita miring bermunculan. Itu pun hanya beberapa kisah yang ketahuan; tak terhitung jumlah skandal antar dokter residen atau dokter yang sudah selesai masa pendidikannya baik yang ketahuan maupun tidak.

Pembisik rasa was-was di hati manusia tak pernah tebang pilih, setiap manusia dan setiap profesi akan selalu menjadi santapannya. Namun, profesi tenaga kesehatan menjadi kelompok dengan resiko tersendiri yang terancam perselingkuhan. Dokter menduduki peringkat ketiga sebagai profesi yang rentan berselingkuh, dan masih menurut artikel yang sama perawat berada di peringkat ketujuh. Tenaga kesehatan, terutama yang bekerja di rumah sakit, merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan dan tak mengenal waktu siang dan malam. Jika kebanyakan orang bisa menikmati weekend atau libur panjang karena tanggal merah, hal itu tak berlaku bagi mereka yang harus melayani orang sakit. Tak terbayangkan bukan kalau UGD ditutup dan dikunci pintunya karena seluruh pekerjanya tengah menselebrasi hari raya agama mereka? Begitu pula di saat kebanyakan manusia tengah beristirahat di atas kasur yang empuk, tenaga kesehatan tetap harus berkonsentrasi melakukan pertolongan kepada korban cedera otak akibat tidak berhati-hati di lalu lintas yang sepi. Bukan hanya shift yang tak teratur dan beban kerja yang besar, rasa tanggung jawab akan keselamatan jiwa manusia juga ikut berperan membuat mereka menjadi depresi.

Sebagai profesi yang menempati 10 besar pekerjaan dengan angka depresi tertinggi, tidak mengherankan jika tenaga kesehatan berusaha mencari hal-hal yang dapat meringankan beban pikiran. Rekan kerja lawan jenis merupakan sarana yang paling menyenangkan untuk menjadi tempat berkeluh kesah dan berbagi cerita. Faktor resiko ini juga diperparah dengan interaksi yang intens, terutama di saat kondisi sedang tegang-tegangnya. Tapi mengapa bukan pasangan mereka, bukan suami atau istri mereka yang menjadi tempat pelampiasan atau tempat mencurahkan segala rasa stress di tempat kerja? Agaknya hal inilah yang harus direnungkan secara mendalam agar peristiwa pengkhianatan ini tak terus terjadi.

Artikel dan buku yang membahas mengenai faktor-faktor pemicu keretakan rumah tangga sudah banyak. Amat penting bagi pasangan yang menjalin rumah tangga untuk banyak belajar dari kisah-kisah yang telah ada agar kesalahan yang sama tak terulang dan tak terulang lagi. Pasangan yang baru saja menikah mungkin masih membakar asmara mereka dengan api yang berkobar-kobar, tapi seberapa lama bara tersebut dapat bertahan? Tidak ada bara api yang akan terus menyala selamanya; pada akhirnya ia akan menjadi asap dan suhu panas yang ada di dalamnya pun akan mendingin juga. Keniscayaan hal tesebut semestinya dapat membuat setiap orang untuk berpikir, untuk apa mereka menikah, apakah hanya sekedar membakar bara api? Jika api tersebut telah padam dan rasa yang ada tidak lagi menggebu-gebu seperti dahulu, akankah mereka mencari bara yang lain untuk kembali menggairahkan hidup mereka? Mari pikirkan baik-baik kembali mengenai tujuan membangun pernikahan yang oleh Al Quran disebut sebagai “ikatan yang kuat”, dan saya yakin setiap dari kita mampu menarik benang merahnya.

Hal lain yang juga penting untuk mempertahankan rumah tangga adalah rasa cemburu dari masing-masing pasangan. Kisah pertama yang ada di tulisan ini harus berakhir duka akibat tiadanya rasa khawatir saat pasangannya bersama laki-laki lain untuk “belajar”. “Ah tidak apa-apa, dia kan sedang belajar, saya percaya sama dia,” adalah pernyataan yang kemudian harus disesali. Terdengar pula cerita seorang anak yang harus tinggal sendiri di rumahnya karena sang ibu menyusul suaminya yang bertugas di provinsi sebelah. “Ibu takut kalau ayah bermain mata sama perawat,” terang sang anak tersebut saat bercerita bahwa ayahnya, seorang dokter bedah, sering digoda oleh rekan kerjanya di kamar operasi. Setidaknya, rumah tangga tersebut masih bertahan hingga sekarang akibat usaha preventif yang tampaknya cukup efektif. Ada motivator yang bilang bahwa rasa cemburu merupakan pertanda masih adanya cinta, dan saya percaya bahwa hal itu adalah benar.

Pada akhirnya, hanya tiap individu lah yang mampu menjaga diri mereka masing-masing. Celah pengkhianatan akan mulai terbuka ketika setiap orang membuka hatinya untuk lawan jenis yang bukan haknya. Celah yang mulanya sempit itu akan semakin menganga ketika ia membiarkan orang lain itu membuka pintu hatinya lebar-lebar, dan celah yang mulanya kecil akhirnya meretakkan fondasi rumah tangga yang dibangun susah payah. Amat jelas lah mengapa Tuhan tidak mengatakan agar makhlukNya tidak melakukan zina, melainkan jangan dekati zina; hati manusia begitu sensitif dan lemah terhadap godaan seperti ini. Jangan mengobrol hal yang tidak penting, jangan sms-an atau WA-an jika tidak urgent, jangan bercanda berlebihan, jangan berjalan atau makan minum berdua, batasi segala interaksi hanya pada hal-hal yang menyangkut pekerjaan atau hal penting lainnya; itulah yang saya pahami dari kalimat jangan mendekati zina.

Rumah sakit, dan tempat kerja lainnya, merupakan lokasi yang rawan jika kita mendatanginya tanpa bekal yang kuat. Pekerjaan yang melelahkan dan membuat stress menjadi mata panah setan untuk mencerai-beraikan kebahagiaan rumah tangga. Nyalakan kembali bara api cinta yang telah mati dengan belajar melalui buku-buku atau mereka yang telah berpengalaman. Buka kembali kita suci kita, dengarkan petuah orang-orang yang berilmu, dan selalu perbaharui benteng pertahanan iman kita dengan selalu memohon ampun dan meminta petunjuk dariNya.

Categories: kesehatan, merenung | Tags: , , , , | 1 Comment

Sidak Gubernur dan Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Umum

“Pak, saya mau ganti mobil ban Avanza. Merk apa ya yang bagus tapi murah?” kata saya kepada seorang bapak-bapak berbaju putih.

“Oh, ini aja, Pak. Ini dari Korea, harga masih murah, kualitas ga kalah bagus!” jawabnya.

Saya yang kurang mengerti masalah per-ban-an mengiyakan aja kata bapak penjual itu. Lagipula, merk yang disebutnya banyak terlihat di spanduk-spanduk di jalan. Mungkin saja memang bagus, apalagi buatan Korea, heheheh.

Tak lama para petugas bengkel selesai memasangkan ban yang baru. Memang, mobil Avanza hitam yang sengaja disewa untuk mobilisasi kami, anak-anak internsip, selama setahun sejak awal sudah punya banyak masalah.

“Berapa semua, Pak?” Bapak penjual berbaju putih itu berjenggot dan istrinya berjilbab lebar. Melihat penampilan mereka, saya sedikit mengajak ngobrol ringan. “Mas kerja di mana?” tanyanya.

“Di Rumah Sakit Umum, Pak. Di UGD,” jawab saya.

“Oh, ini ada anak saya sakit. Awalnya, saya mau membawanya ke rumah sakit umum. Tapi…” suaranya menjadi pelan, “…tapi kata orang-orang pelayanan di rumah sakit umum buruk, ya?”

***

Seorang laki-laki usia 30-an, ditemani seorang wanita yang sepertinya istrinya, buru-buru datang ke UGD. “Dok, anak saya tadi kejang.”

Anak usia balita yang disebutnya datang dalam keadaan menangis dan sedikit rewel. Kata orang tuanya, anaknya sudah demam 2 hari. Melihat kondisi pasien yang sudah tidak kejang lagi, saya pun kembali memeriksa pasien yang sudah datang duluan. Tiba-tiba, suara laki-laki yang sama berteriak, “Sudah, sudah! Kita pulang saja! Ga usah dirawat!” Lalu orang itu beserta istri dan bapak-bapak tua—sepertinya kakek dari anak itu—keluar dari UGD sambil mengomel dan setengah membentak. Sepertinya, kakek pasien itu marah-marah karena cucunya tidak segera diperiksa.

Kami, para petugas di UGD, hanya bisa geleng-geleng kepala. “Ya, sudah lah.” Umumnya anak dengan kejang demam sederhana tidaklah dalam kondisi berbahaya. Selama memang kejangnya hanya sebentar dan setelah serangan sang anak sadar, pengobatan yang dilakukan hanyalah menurunkan panas badan sambil diobservasi. Lalu, kenapa mereka malah marah-marah?

Tak lama, saya pun bisa memaklumi amarah kakek tadi. Saat itu, tidak ada satu pun yang menghampiri mereka dan memberikan penjelasan mengenai kondisi anak. Tak ada pula dokter jaga yang menerangkan, “Pak, keadaan anak Bapak tidak gawat. Sekarang saya sedang memeriksa pasien lain yang sudah datang duluan. Mohon tunggu sebentar ya.”

***

Inspeksi mendadak (sidak) dari seorang Gubernur Jambi ke sebuah rumah sakit umum di wilayahnya menuai protes keras dari kalangan tenaga kesehatan. Para dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya mengecam tindakan ala koboi bapak gubernur yang tidak mengerti keadaan saat itu dan kondisi tenaga medis yang berjaga malam. Saat sidak, memang terlihat kondisi ruangan yang beliau kunjungi sedang tenang dan sepi. Dikabarkan bahwa pak gubernur sidak jam 2 dini hari, waktu bagi para pasien rawat inap untuk tidur dan beristirahat. Melihat keadaan yang aman, tidak ada yang gawat, dan tidak ada keluarga pasien yang datang menyampaikan keluhan, wajar bagi para tenaga medis saat itu untuk memenuhi hak tubuh mereka untuk beristirahat sejenak.

Sidak Gubernur Jambi

Sidak Gubernur Jambi

Manusia telah diciptakan sedemikian rupa. Jam biologis manusia “dari sananya” memang demikian, yaitu waktu siang untuk beraktivitas dan waktu malam untuk beristirahat. Walaupun kita dari pagi sampai sore tidur terus bagaikan kerbau agar tersimpan tenaga untuk jaga malam, tetap saja tubuh akan terasa lelah dan pekerjaannya tidak akan sebaik siang hari. Kenapa bisa? Ya karena itu lah jam biologis manusia yang sudah di-set oleh Tuhan, sebagaimana yang Ia katakan dalam surat Al Furqon ayat 47, “Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.”

Di negara barat sana, sudah diatur bahwa dokter yang shift malam harus beristirahat. Di Inggris, misalnya, NHS mengharuskan dokter dinas malam untuk istirahat selama 30 menit untuk menghindari kesalahan kerja akibat kondisi tubuh yang lelah. Sudah ada banyak jurnal atau penelitian ilmiah yang menyatakan kesalahan dalam penanganan medis atau medical error paling banyak terjadi saat malam hari. Kesalahan-kesalahan yang berujung kerugian bagi pasien juga beresiko besar terjadi jika dokter yang menanganinya memiliki jam kerja yang berlebihan.

Adalah hal yang wajar bagi rumah sakit terakreditasi nasional untuk menerapkan jam tidur bagi karyawannya yang jaga malam secara bergantian. Setidaknya tetap ada petugas yang stand by jikalau ada apa-apa atau mendadak terjadi hal yang emergency. Itu pun menjadi tidak berlaku jika ruangan sedang dipenuhi oleh pasien gawat. Misalnya, saya pernah kedatangan lima pasien gawat sekaligus di waktu yang bersamaan saat jam telah melewati tengah malam. Seketika itu juga seluruh petugas bangun dan memberikan pelayanan; bahkan para perawat di bangsal rawat inap pun sampai datang membantu karena keterbatasan jumlah perawat di UGD.

Tapi mengapa bapak gubernur melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti yang telah kita lihat? Apakah karena bapak ZZ tidak paham? Bisa jadi, karena beliau tidaklah berlatar belakang kesehatan. Apakah—seperti kata beberapa orang di medsos— karena “pencitraan”? Saya tidak ingin berprasangka buruk demikian, karena untuk melakukan “pencitraan”, ada banyak cara yang lebih memikat ketimbang capek-capek ke rumah sakit di waktu dini hari.

medical-resident-sleeping-overworked-doctors-mexico-yo-tambien-mi-dormi-27Saya selalu beranggapan bahwa tidak akan ada asap jika tidak ada api. Di rekaman bapak gubernur mengatakan bahwa ia ke RS tersebut karena mendapat laporan dari masyarakatnya. Selain itu, pak ZZ juga merasa kesal karena RS tersebut kekurangan stok obat demam berdarah. Walaupun “kekurangan stok obat demam berdarah” rasanya absurd karena obat demam berdarah hanyalah cairan infus dan paracetamol—yang rasanya mustahil RS tidak memilikinya—, tapi itu menunjukkan kualitas RS yang perlu dieavaluasi.

Kejadian di Jambi setidaknya perlu kita lihat dengan sudut pandang yang lebih luas; sudah menjadi hal biasa ketika masyarakat mengeluhkan kualitas pelayanan rumah sakit umum. Ketika ada pilihan rumah sakit swasta yang jaraknya terjangkau, masyarakat akan lebih memilihnya. Jika melayani pasien BPJS, pasien kelas III/Jamkesmas pun akan berbondong-bondong mencoba ke RS swasta terlebih dahulu. Jumlah kasur untuk pasien kelas III/Jamkesmas di RS swasta biasanya tidak banyak, sehingga para pasien yang terlambat datang akan segera dioper ke Rumah Sakit Umum yang memang memyediakan jumlah lebih banyak untuk pasien kelas tersebut. Setidaknya ini terbukti ketika saya berkali-kali mendengar keluhan rekan kerja RSU yang juga bekerja di RS swasta, “Pasien di RS swasta sebelah banyak banget, jauh lebih banyak daripada RS ini.”

Mengapa RSU identik dengan pelayanan yang tidak memuaskan? Mengapa RS swasta pelayanannya selalu lebih baik? Apakah memang sistem kesehatan di negara kita memang selalu tebang pilih terhadap pasien tak mampu?

Kita semua tahu bahwa RS swasta, layaknya perusahaan, berorientasi kepada profit. Tarif yang rata-rata “tidak murah” diterapkan bagi para pasien yang ingin berobat di sana. Sebagai gantinya, lembaga itu akan memberikan pelayanan yang maksimal: para karyawan yang penuh senyum, fasilitas yang lengkap, lantai yang bersih, ruangan yang wangi, obat-obatan yang jumlahnya banyak, dll. Untuk mendukung kebijakan pemerintah, banyak RS swasta menyediakan bed khusus pasien BPJS. Namun, biaya klaim yang dibayarkan oleh BPJS cenderung membuat RS swasta rugi jika dibandingkan dengan pelayanan dan fasilitas prima yang diberikan. Tak ingin gulung tikar, biasanya bed untuk pasien BPJS pun dibatasi.

Kondisi berbeda dialami rumah sakit milik pemerintah. Ia eksis untuk memberikan pelayanan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk pasien tidak mampu. Semua “kerugian” akibat klaim BPJS yang rendah harus ditelan dalam-dalam oleh RSU. Ketiba sebuah RSU ingin membuka ruang rawat intensif, saya sempat dengar bisik-bisik dari pihak manajemen, “Kalau ICU dibuka untuk pasien BPJS, sudah dipastikan merugi.”

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

RSUD Tasikmalaya Terancam Bangkrut

Bagaimana nasib sebuah lembaga yang harus mengalami kerugian tanpa boleh mengeluh? Rumah sakit umum tidak memiliki hak untuk menolak pasien BPJS demi menjaga diri dari kerugian; terbayang jika hal itu dilakukan, ada berapa media massa yang akan menjadikannya sebagai headline? Bisakah RS tersebut memiliki fasilitas yang mantap jika terus dilanda kerugian? Apakah kita bisa berharap RS pemerintah selalu lengkap stok obatnya dan tidak kekurangan persediaan “obat demam berdarah”? Apakah lantainya bisa terus dijaga bersih, toiletnya wangi, kamarnya harum, dan sebagainya, dan sebagainya? Kemudian, bagaimana RS tersebut menggaji para karyawannya? Bisakah ia memberikan penghasilan yang layak bagi dokter, perawat, bidan, petugas farmasi, dan lain-lainnya?

Ini adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri di dunia ini, bahwa performa kerja seseorang dipengaruhi oleh pemasukan yang diterima. Loh, bukankah dokter itu tugasnya adalah membantu sesama manusia ya?  Bukannya dokter itu harus punya jiwa sosial sehingga tidak boleh memikirkan materi?

Pemikiran ini perlu diluruskan. Dokter adalah sebuah profesi, yang untuk memperoleh gelar profesi itu memerlukan pengobarnan yang tidak sedikit, termasuk pengorbaanan harta/materi. Berapa biaya sekolah agar seseorang menjadi dokter? Ketika pertama kali masuk, orang tua siswa harus mengocek puluhan bahkan ratusan juta demi mengamankan kursi di fakultas kedokteran. Setelah itu, belasan juta harus diterbangkan tiap semesternya untuk biaya pendidikan. Biaya di atas belum termasuk pengeluaran untuk textbook yang terkenal tebal dan mahal. Lima hingga enam tahun adalah waktu yang harus dikorbankan agar menjadi dokter. Belum lagi setelah lulus harus menjadi dokter internsip dengan gaji seadanya (dan sering terlambat) dan, kabarnya, setelahnya harus mengikuti program Dokter Layanan Primer selama 2 tahun.

Menuntut dokter untuk bekerja sosial tanpa memberinya hak untuk memikirkan materi berarti tidak menghargai profesi tersebut. Jika profesi-profesi lainnya boleh dihargai (baca: digaji), mengapa dokter tidak boleh? Selain itu, dokter juga adalah manusia biasa yang memerlukan kebutuhan hidup sehari-hari hingga menafkahi istri dan anak-anaknya.

Ketika seorang pejabat melakukan sidak dan mendapati pelayanan dari tenaga medis yang kurang memuaskan, coba ditelusuri terlebih dahulu, apakah mereka mendapatkan penghasilan yang memadai? Apakah pengorbanan dan jenjang pendidikan mereka sudah sesuai dengan gaji yang diberikan? Lama dan beban kerja mereka apakah juga diperhitungkan? Berapa banyak tenaga medis yang telah bekerja selama bertahun-tahun namun tetap saja berstatus honorer?

Dokter dan para tenaga medis adalah orang-orang yang harus stand by ketika kebanyakan orang mudik di waktu lebaran. Mereka juga adalah orang-orang yang harus menangani korban kecelakaan akibat mabuk dan korban luka bakar akibat petasan di malam tahun baru. Mengingat beban kerja mereka, apakah penghargaan yang diberikan selama ini sudah layak sehingga pemerintah bisa mengharapkan pelayanan yang penuh kualitas?

Jika dalam sidak ditemukan pelayanan RS yang kurang memuaskan, maka sudah saatnya untuk mengevaluasi akar dari permalasahan tersebut, bukan hanya menyalahkan tenaga medis yang tidur ayam saat keadaan ruangan tenang. Indonesia masih perlu melangkah jauh agar dapat menerapkan sistem kesehatan yang berkeadilan dan manusiawi, yaitu memanusiakan masyarakat dan juga tenaga kesehatannya. Penyediaan sarana kesehatan dan obat-obatan yang merata di seluruh penjuru juga merupakan pekerjaan rumah yang hingga kini belum tuntas.

Begitu pula bagi para tenaga kesehatan, ada baiknya juga kita melakukan evaluasi terhadap diri sendiri. Walaupun, katakanlah, penghargaan yang diterima dirasa tidak layak, tetapi tetap merupakan kewajiban untuk memberikan pelayanan yang humanis. Terkadang apa yang dibutuhkan pasien bukanlah obat dan skill medis yang mumpuni, namun komunikasi yang efektif. Sudah banyak cerita di lapangan bahwa dokter yang kurang dari sisi pengetahuan dan skill namun mampu berkomunikasi dengan baik lebih disukai masyarakat ketimbang dokter bergelar tinggi tapi gaya bicaranya tidak menyenangkan. Yang menyebabkan dokter dituntut ke meja hijau kebanyakan bukanlah tidak mampu mengobati pasien hingga sembuh, tapi karena tidak mampu berkomunikasi kepada pasien dan keluarga.

Evaluasi dari kedua belah pihak, yaitu stakeholder dan tenaga kesehatan, dibutuhkan untuk menunjuang perbaikan sistem kesehatan negeri ini. Saling menyalahkan atas pelayanan yang buruk tidaklah akan memecahkan masalah. Pemerintah wajib terus melakukan perbaikan dan menyediakan sistem yang semakin baik, juga dokter dan paramedis wajib bekerja secara maksimal—meskipun penghargaannya kurang—sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dan juga ibadah kepada Tuhan.

Categories: kesehatan, merenung | Tags: , , , , , , | Leave a comment

Desentralisasi BPJS: Tidak Mampunya Pemerintah Menanggung Beban Berat

Ketika muncul berita bahwa Bapak Presiden mewacanakan pengelolaan BPJS oleh Pemda, isi dari berita itu sudah bisa ditebak. Benar saja, alasan mengapa pemerintah pusat ingin membagi tanggung jawabnya ialah soal pendanaan. Dana BPJS telah menjadi beban bagi APBN karena lembaga tersebut terus mengalami defisit anggaran.

Semenjak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dilaksanakan tahun 2014, BPJS sebagai lembaga penyelanggara jaminan tersebut selalu merugi dalam angka yang besar. Nilai defisit terus menukik tiap tahunnya layaknya pendaki. Pada tahun 2014, adanya ketidaksesuaian antara pemasukan dan pengeluaran atau mismatch mencapai 3.3 triliun, lalu menjadi 5.85 triliun setahun berikutnya. Di tahun ini, diproyeksikan defisit BPJS mencapai 7 triliun.

Banyak pemerhati dan pakar yang berpendapat, ketika pemerintah mewajibkan warganya untuk menjadi anggota BPJS, pelaksanaan jaminan sosial berskala nasional ini masih penuh ketidaksiapan. Penyelenggara berkilah bahwa perbaikan akan dilakukan sambil berjalan, dengan target tahun 2019 seluruh warga Indonesia ter-cover BPJS. Tapi nyatanya perjalanan waktu tidak serta merta membuat pengelolaan BPJS menjadi lebih baik. Kerugian yang terus melambung membuat badan ini harus “mengemis” sunitkan dana ke pemerintah. Presiden sudah berkali-kali mengatakan ke Menteri Kesehatan bahwa kerugian BPJS ini menjadi beban yang sangat berat.

Atas dalih itu, pemerintah pusat tidak ingin menanggungnya sendirian. Beban yang sangat berat, yang sampai membuat nyeri punggung negara ini, hendak dibagi-bagikan ke pemerintah daerah,demi terselamatkannya APBN untuk alokasi hal-hal lain. Jokowi menskemakan pemerintah pusat akan memberikan dana dalam jumlah tertentu untuk daerah. Bila terjadi kekurangan alias defisit, pemda-lah yang bertanggung jawab mengisi lubang itu. Pertanyaannya, apakah dengan skema seperti ini rakyat semakin diuntungkan, atau malah semakin menderita?

Desentralisasi BPJS akan membuat ketimpangan antar daerah dari barat sampai timur Nusantara. Kita paham bahwa Indonesia yang luas ini mememiliki kondisi daerah yang beragam: ada yang makmur karena punya banyak pemasukan, ada pula yang penuh kemiskinan. Ketidakrataan kondisi ini tentu akan membuat kualitas jaminan kesehatan tiap daerah berbeda. Wilayah yang makmur akan mampu memberikan jaminan kesehatan yang berkualitas—mungkin tidak akan ada cerita pasien ditolak di UGD karena khawatir tidak akan dibayar klaimnya. Sebaliknya, bagi daerah yang masih berkembang, akan apa jadinya? Bagaimana bila pemda tidak mampu membiayai tagihan yang membludak? Bisakah bantuan dari pusat diharapkan, padahal presiden mengatakan pemdalah yang harus menanggung?

Jika klaim perawatan tidak bisa dibayarkan, pihak yang rugi pertama adalah fasilitas kesehatan. Kemudian yang menjadi korban selanjutnya adalah para tenaga kesehatan di dalamnya—dokter, perawat, bidan, dll—yang memiliki keluarga untuk dinafkahi. Fasilitas kesehatan yang merugi akan berdampak pada pelayanan yang buruk; akhirnya masyarakat jugalah yang menjadi korban. Apakah ketidakadilan antardaerah seperti ini yang diinginkan?

Itu baru tentang ketidakmampuan daerah dalam meng-cover. Jika pemda diberi dana oleh pusat untuk mengelola BPJS, apakan 100% seluruh uang itu akan dioper untuk layanan kesehatan? Sudahlah, kita semua sering bisik-bisik mengenai dana pembangunan daerah yang entah melayang ke mana. Desentralisasi jaminan kesehatan akan sangat membuka celah besar korupsi daerah. Jika penyalahgunaan dana terjadi di pusat, pengawasan dan pengkoreksiannya akan lebih mudah dilakukan. Bagaimana jika korupsi itu tersebar di daerah dari Sabang sampai Merauke? Sekali lagi, adakah desentralisasi pengelolaan BPJS menjadi solusi bagi rakyat Indonesia?

DLP Bukanlah Solusi

Kemarin hari, tepatnya tanggal 24 Oktober, ribuan dokter Indonesia berdemonstrasi di Jakarta. Tuntutan mereka sederhana: tolak program Dokter Layana Primer. Kaum professional berjas putih ini turun ke jalan karena tidak puas terhadap pemerintah ysng enggan mendengar aspirasi mereka.

Menurut Undang-Undang Pendidikan Dokter terbaru, dokter umum harus menjadi Dokter Layanan Primer agar bisa bekerja di fasilitas kesehatan primer. Sederhananya, seorang yang telah menempuh pendidikan 5-6 tahun untuk menjadi dokter umum, lalu mengikuti program internsip selama 1 tahun, harus sekolah lagi 2 tahun supaya bisa bekerja di puskesmas atau klinik primer yang menangani pasien BPJS. Jadi, total waktu yang dibutuhkan sekitar 8-9 tahun untuk benar-benar bisa bekerja mandiri. Perjalanan yang sangat panjang, bukan?

Mengapa harus ada pendidikan DLP? Mungkin bisa dibilang ini pertanyaan paling misterius bagi kebanyakan dokter di Indonesia. Muncul berbagai pernyataan yang berusaha menjawab pertanyaan itu. Ada yang bilang DLP sebenarnya memiliki kompetensi yang sama dengan dokter umum, namun level-nya setara dokter spesialis. Ada juga yang mengatakan DLP memiliki orientasi kesehatan komunitas, sehingga ia bekerja sebagai dokter keluarga. Ada lagi yang bilang—sepertinya ini yang paling resmi karena dari pemerintah—DLP diadakan karena kompetensi dokter umum yang ada saat ini dirasa kurang untuk bekerja di fasilitas primer.

Adanya berbagai versi mengenai DLP cukup menggelitik karena itu sudah menjelaskan bahwa konsepnya sendiri masih digodok. Yang paling membuat geli adalah pernyataan bahwa dokter umum sekarang “tidak cukup kompeten”. Menurut pemerintah, kompetensi dokter umum yang ada sekarang ini hanyalah mendiagnosis dan menangani 100 kasus penyakit, sedangkan DLP 155 penyakit—jumlah yang menurut pemerintah harus bisa ditangani di fasilitas primer. Padahal, di setiap fakultas kedokteran, calon dokter telah dididik untuk bisa menangani sendiri sebanyak 144 kasus sesuai Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Entah kenapa sekarang dikurangi menjadi 100, dan jumlah kasus yang harus bisa ditangani bertambah menjadi 155.

Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak sekali kasus yang seharusnya bisa ditangani di puskesmas tapi dirujuk ke Rumah Sakit. Membludaknya pasien rujukan di RS jelas menyuramkan keuangan BPJS yang berujung ke defisit anggaran. Kenapa puskesmas banyak merujuk pasien? Ya, ini adalah pertanyaan yang sangat penting: kenapa bisa demikian?

Benarkah pasien banyak dirujuk karena dokter umum yang tidak kompeten? Pelaku layanan di lapangan akan mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah minimnya sarana-prasarana kesehata/n. Apakah setiap puskesmas memiliki fasilitas laboratorium? Jika pun ada, berapa banyak yang bisa melakukan pemeriksaan kimia darah? Apakah di setiap puskesmas memiliki alat rekam jantung (EKG)? Ada alat pemeriksaan X-Ray/rontgen? Berapa banyak yang terpaksa merujuk ke RS karena tidak punya fasilitas rawat inap, bahkan antibiotik injeksi pun tak ada?

Katakanlah di puskesmas ada Dokter Layanan Primer yang sepenuhnya kompeten terhadap 155 penyakit. Bisakah dia menangani pasien yang datang karena asma tapi tidak ada alat nebulisasi?

Pembukaan pendidikan DLP mau tak mau memakan biaya dari pemerintah. Anggaran kesehatan yang sudah banyak tersedot untuk suntikan BPJS akan terkurangi lagi untuk biaya program studi baru. Banyaknya dana yang terkuras akan membuat alokasi untuk penyediaan sarana-prasarana kesehatan semakin berkurang, dan ini tentu membuat kualitas pelayanan kesehatan akan terus stagnan. Apalagi saat ini Bapak Presiden menyerukan agar dilakukan penghematan anggaran. Dibukanya program DLP justru kontraproduktif dengan pengembangan layanan kesehatan dan program pemerintah sekarang.

Mencari Jawaban Bersama

Pakar-pakar kesehatan masyarakat telah menyampaikan pandangannya mengenai kerugian yang dialami BPJS. Solusi yang banyak disarankan adalah perlunya menaikkan angka iuran. Menurut Prof. Hasbullah Thabrany, pakar ilmu kesehatan masyarakat dari UI, jumlah premi yang ada sekarang tidak mencapai 40% dari yang disarankan ahli kesehatan masyarakat. Iuran yang dinaikkan tentu akan memberikan beban bagi masyarakat, tapi itu adalah langkah yang perlu karena biaya pengobatan itu tidak murah. Jika masyarakat mengenah bawah penerima BPJS kelas III merasa sangat berat bila biaya dinaikkan, maka premi kelas di ataslah yang mesti dinaikkan untuk memberikan subsidi silang. Dengan demikian, makna “asuransi berprinsip gotong royong” lebih terasa.

Masih menurut Prof. Hasbullah, perbaikan sarana/prasarana kesehatan juga hal yang penting untuk perbikan JKN kita. Telah dijelaskan di atas, sarana yang minim hanya akan menyuburkan angka rujukan. Terakhir, menurut beliau adalah sistem reward bagi fasilitas primer yang berkinerja baik dan yang mampu melakukan kegiatan preventif (pencegahan) dan promosi kesehatan dengan efektif. Kegiatan preventif-promotif memiliki sasaran masyarakat yang sehat, menargetkan bagaimana mereka yang tidak sakit menjadi semakin sehat dan tidak perlu berobat, yang gencar diharapkan menurunkan angka kesakitan. Preventif-promotif yang efektif tidak hanya menurunkan angka kesakitan dan menaikkan angka harapan hidup, tapi juga akan menghemat anggaran kesehatan.

BPJS juga perlu memikirkan bagaimana agar ia sebagai lembaga bisa menghasilkan keuntungan. Sistem BPJS yang memukul sama rata semua pelanggannya hakikatnya tidak mendidik masyarakat dan hanya menggali kuburan sendiri. Sebagai contoh, seorang perokok aktif sudah seharusnya membayar premi berkali-kali lipat dibandingkan dengan yang tidak merokok. Hal itu wajar karena sikapnya yang buruk membuatnya beresiko besar membutuhkan perawatan yang memakan biaya besar. Begitu pula dengan peminum alkohol.

Seperti halnya lembaga asuransi yang lain, sebaiknya BPJS diberi hak untuk mestratifikasi pesertanya, misalnya dengan melakukan prescreening. Kondisi kesehatan yang sudah dimiliki peserta bisa menjadi pertimbangan untuk besaran premi yang akan dibayarkan. Tak bisa dipungkiri, dana BPJS banyak terpakai oleh mereka yang telah mengidap penyakit kronis. Setiap bulan BPJS harus membayar klaim mereka yang memang harus rutin meminum obat penyakit kronis hingga cuci darah. Sebaliknya, seorang yang kondisi dasarnya sudah sehat akan jarang menggunakan fasilitas kesehatan. Prinsip keadilan berdasarkan preexisting condition dapat dipertimbangkan, tanpa menyingkirkan prinsip gotong royong tentunya.

Ketaatan peserta untuk rutin membayar iuran juga adalah hal yang sangat penting. Para peserta pekerja bukan penerima upah merupakan golongan yang banyak membebani. Mereka membayar iuran tidak seperti pekerja yang langsung dipotong gajinya. Golongan ini beresiko besar baru membayar BPJS ketika akan membutuhkan pelayanan kesehatan, dan begitu sudah tidak sakit, iuran tidak dipenuhi lagi. Untuk mengatasi ini, sudah saatnya memikirkan cara-cara kreatif untuk meningkatkan kepatuhan, selain adanya denda. Perlu ditambah fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk membayar, misalnya optimalisasi sistem layanan online. Selain itu, jika ada sistem punishment, mengapa tidak ada reward? Kemal Imam Santoso, mantan direktur PT Askes, menyarankan adanya diskon bagi peserta yang telah membayar iuran selama 6 bulan atau 1 tahun ke depan.

Perjalanan menuju negara yang sejahtera melalui sistem jaminan sosial nasional masih amatlah panjang. Kita belumlah seperti National Health Service di Inggris, yang ketika ada pelayanan kesehatan, pasien tidak perlu khawatir ada obat yang tidak dijamin, pun tenaga dan fasilitas kesehatan dapat bekerja dengan tenang karena sudah pasti akan dibayarkan klaimnya. Kondisi ekonomi negara ini, mengutip kata Menteri Keuangan, masih selevel liga kelurahan. Berhutang harus kembali dilakukan untuk membayar hutang. Namun, itu bukanlah alasan untuk tidak optimis bahwa sistem asuransi kesehatan nasional kita dapat dibenahi agar benar-benar menyejahterakan rakyatnya.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , , , , , , | 1 Comment

Create a free website or blog at WordPress.com.