Posts Tagged With: jkn

Bukan Hanya Tukang Bikin Rujukan

Kita sepatutnya bersyukur bahwa Indonesia sudah memasuki era jaminan sosial nasional sejak 3 tahun yang lalu. Tak ada yang bisa menyangkal manfaat yang dirasakan, terutama jaminan kesehatannya atau biasa dikenal dengan BPJS Kesehatan. Dahulu kelas menengah adalah kaum yang paling menderita ketika jatuh sakit karena mereka tak termasuk kriteria penerima Jamkesmas tapi tak semakmur kelas atas untuk membayar biaya pengobatan yang mahal.

Meskipun demikian, para ahli kesehatan sepakat bahwa masih banyak celah kekurangan yang perlu diisi. Semenjak pertama kali diresmikan, BPJS selalu mengalami kerugian. Adanya skema asuransi kesehatan nasional yang bersifat wajib ternyata makin menambah jumlah kunjungan pasien ke fasilitas kesehatan (faskes). Jika dulu ketika mendapat batuk pilek atau penyakit ringan lainnya masyarakat cukup membeli obat-obatan berlabel hijau, kini mereka termotivasi untuk mengunjungi dokter. Barangkali karena dengan datang ke puskesmas/klinik mereka bisa mendapatkan obat dengan gratis.

Hal tersebut tentu sah-sah saja, tapi masalah timbul ketika skema asuransi ini dipahami sebagai jalan untuk bisa berobat ke dokter spesialis secara cuma-cuma. Siapa yang tidak senang bisa konsultasi dengan dokter spesialis tanpa mengeluarkan biaya, yang jika menggunakan kocek pribadi harus mengeluarkan uang sebesar 150 ribu-300 ribu? Terlebih jika menghadap spesialis di rumah sakit; mereka bisa mendapat pemeriksaan laboratorium, rontgen, atau penunjang lainnya secara—lagi-lagi—gratis.

Pola pikir seperti itu membuat repot para dokter di faskes tangka pertama; dikira seseorang bisa berobat ke dokter spesialis begitu saja tanpa indikasi medis. Jika orang itu memang mengalami penyakit rumit yang perlu penanganan spesialistik, tak perlu khawatir rujukan tak akan keluar. Juga jika sebelumnya sudah pernah diperiksa oleh dokter spesialis atau dirawat di RS dan pada waktu tertentu harus kontrol kembali. Biasanya sang pasien akan diberi surat keterangan bahwa ia pernah ditobati di RS—yang disebut dengan surat rujukan balik—untuk diberikan ke klinik atau faskes tingkat pertama, yang kemudian klinik itu akan memberikan surat rujukan untuk kembali ke RS. Namun, bagaimana jika pasien meminta rujukan bukan karena pernah ditangani di RS, atau bukan setelah melalui penilaian bahwa ia diindikasi untuk dirujuk, melainkan karena ia merasa harus ditangani oleh dokter spesialis, alias tidak percaya atau meragukan kemampuan dokter umum?

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN telah disusun sedemikian rupa agar tepat sasaran. Masih ingat dengan Kartu Jakarta Sehat (KJS) ketika pertama kali diusung oleh Pak Joko Widodo? Di awal-awal peluncurannya, terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. Dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya harus bekerja ekstra keras hingga lembur untuk melayani ruangan poliklinik dan Instalasi Gawat Darurat yang membludak. Ternyata tidak hanya kasus spesialistik dan gawat darurat yang harus mereka tangani, tapi juga penyakit-penyakit sederhana yang seharusnya bisa ditangani di klinik/puskesmas. Berbondong-bondongnya peserta KJS melompat ke RS kala itu dikarenakan tidak adanya sistem rujukan. Apa akibatnya ketika suatu rumah sakit mengalami penumpukan pasien tak terkendali? Kualitas pelayanan akan menurun dan yang paling dikhawatirkan adalah jika ada pasien dengan kasus spesialistik dan gawat darurat yang terpaksa terpinggirkan.

Tidak heran jika BPJS menerapkan sistem yang begitu ketat. Sebanyak 144 kasus ditekankan oleh lembaga tersebut ke tiap klinik/puskesmas agar bisa segera ditangani di sana tanpa harus dioper. Jika pasien terlalu mudah dirujuk, biaya klaim yang harus dibayarkan oleh BPJS akan membengkak dan jadilah lembaga ini terus merugi. Pada kenyataannya, merujuk pasien tak bisa dihindarkan. Perlengkapan dan obat-obatan yang kurang selalu menjadi masalah klasik di faskes tingkat 1. Ketika seseorang datang karena asmanya kambuh, sedangkan alat nebulisasi tak tersedia, apakah dokter tega membiarkannya minum obat dalam keadaan sesak? Dana yang disediakan oleh BPJS untuk faskes—alias kapitasi—yang jumlahnya tak seberapa membuat klinik pratama merasa tak mampu melengkapi sarana-prasarananya.

Masalah ini sudah menjadi beban bagi sistem asuransi kesehatan nasional kita, dan harus ditambah seberapa berat lagi dengan sikap pasien yang tak mau memahami ini? Kepala klinik/puskesmas pun harus menjadi korban terguran atau sangsi oleh BPJS karena merujuk tanpa indikasi.

“Saya mau minta rujukan,” barangkali adalah kalimat yang banyak diucapkan oleh pasien ketika baru datang tanpa basa-basi. Begitu keluhannya disampaikan dan ternyata tidak perlu penanganan spesialistik, langsung dijawab, “Saya sudah biasa ke dokter spesialis anu. Kemarin juga saya berobat ke dia.” Kemudian, setelah sang dokter umum bersusah payah menjelaskan penyakitnya dan bahwa pengobatannya tersedia di faskes pertama, dibalas, “Iya, saya tahu, saudara saya juga dokter umum. Ini saya harus ke spesialis!” Sebenarnya, yang mengesalkan dari hal ini adalah orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada dokter umum tersebut enggan langsung ke dokter spesialis karena mengharapkan biaya pengobatannya ditanggung BPJS.

Kurangnya Sikap Respek

Salah satu permasalahan bangsa ini yang kerap dilontarkan oleh kaum intelektual adalah minimnya sikap saling menghargai. Apakah seorang manusia harus dipandang sambil membungkuk penuh keramahan atau mendongak dengan memincingkan mata tergantung dari faktor status sosial dan harta. Senyuman hanya diberikan kepada para bos sedangkan pegawai yang posisinya tidak tinggi diberi muka masam. Fenomena ini secara tak sadar membentuk sistem kasta sosial di negara kita.

Secara umum, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada si kaya dan si miskin tak ada perbedaan. Setiap orang akan mendapat pengobatan semaksimal mungkin dan yang kondisinya lebih gawat akan didahulukan, tanpa memandang keadaan ekonomi atau suku/agamanya. Namun, kita tak dapat membantah bahwa yang kantongnya lebih tebal akan mendapat kamar perawatan yang lebih bersih, harum, dan privat sehingga kondisinya jauh lebih nyaman daripada pasien biasa. Tak perlu ditutup-tutupi pula bahwa pasien-pasien kelas seringnya mendapat perlakuan yang lebih ramah dan senyuman yang lebih lebar. Mungkin para tenaga medis itu melakukannya secara otomatis di luar alam sadar karena telah terbiasa dengan sistem sosial yang ada di masyarakat.

Masalah mental ini juga mengakibatkan tidak adanya sikap penghargaan kepada dokter umum karena hanya ingin dilayani oleh spesialis di RS. Adalah nasib di era JKN ini dokter umum hanya dipandang sebaga tukang bikin rujukan. Apa pun nasihat yang disampaikan oleh dokter umum rasanya terlalu lemah untuk menembus dinding kearoganan yang tebal. Obat yang sudah capek-capek diresepkan harus berakhir di tong sampah karena yang diinginkan hanyalah surat rujukan. Padahal, untuk menjadi dokter umum dibutuhkan pendidikan yang tidak sebentar, ujian yang tidak mudah, dan juga internsip yang tidak ringan.

Atau tak usah ke pelayanan kesehatan. Lihat saja pelayanan publik. Terkadang orang dengan pakaian perlente akan diberi salam, “Selamat pagi, Pak!” dengan penuh hormat oleh petugas di depan. Perlakuan berbeda diberikan kepada orang berpakaian sederhana, yang mungkin akan mendapat pertanyaan dengan nada curiga, “Mau ke mana, Pak?”

Atau katakanlah fenomena yang terjadi belakangan ini. Saat ada orang yang berbeda pilihan politik, langsung saja diberi stigma antikeragaman, antibhinneka, dan kaum radikal. Tidak adanya sikap respek terhadap orang yang berbeda membuat negeri ini terus saja terkotak-kotakkan.

Hal ini barangkali disebabkan kita semua telah terlanjur tertanam mental dijajah. Pemilik darah biru harus merunduk-runduk di depan orang berkulit putih. Yang paling sial adalah yang darahnya merah biasa; mereka harus merunduk-runduk ke bangsawan dan sujud ke penjajah. Akhirnya tumbuh value atau nilai di masyarakat bahwa hanya orang-orang berkedudukan tinggi dan berhartalah yang pantas untuk dihormati.

Cita-Cita Panjang

Pemerintah kita dahulu mencanangkan Visi Indonesia Sehat 2010. Tahun berlalu, kemudian program tersebut berubah menjadi Visi Indonesia Sehat 2015. Pun tahun berlalu, kini muncul Visi Indonesia Sehat 2025.

Kata “sehat” memiliki makna yang luas. Tidak hanya bebas dari penyakit, tapi juga memiliki kondisi jiwa yang tenang sehingga mampu melakukan aktivitas dengan produktif. Hingga kini, tahun 2017, rasanya perjalanan menuju cita-cita itu masih sangat panjang, atau bahkan mungkin tak terhingga? Jumlah penyakit menular masih saja tinggi. Penyakit yang seharusnya tidak pernah muncul lagi karena adanya imunisasi seperti difteri malah terus dilaporkan keberadaannya. Angka dehidrasi berat akibat diare pada anak belum hilang di beberapa daerah yang tertinggal. Di daerah-daerah tertentu, angka kematian akibat HIV/AIDS masih tinggi.

Meskipun begitu, kita tak boleh pesimis. Kata Indonesia Sehat bukanlah utopia belaka yang tak bisa direalisasikan. Setiap dari kita bisa menjadi penyumbang cita-cita mulia ini, dan salah satu cara sederhananya adalah dengan mematuhi mekanisme JKN yang telah disusun sedemikian rupa.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , , , , | 1 Comment

Apakah Memberikan Layanan Pengobatan Gratis Merupakan Hal yang Tepat?

Ada banyak cara bagi manusia untuk beramal. Bahwa hidup sebagai bentuk ibadah kepadaNya telah direalisasikan oleh banyak orang dengan memberi bantuan kepada sesama secara ikhlas. Begitu juga bagi mereka yang dipandang oleh kebanyakan masyarakat sebagai orang dengan profesi bergengsi: dokter. Tidak perlu diragukan bahwa fakultas kedokteran merupakan salah satu destinasi pendidikan yang sangat diminati. Amat banyak yang berlomba-lomba agar dapat bekerja sambil mengenakan jas putih. Apa alasannya? Tak bisa dihindari, bahwa dokter sering diidentikkan dengan kesejahteraan tinggi.

Tapi prestise seperti itu untungnya tidak melunturkan kejernihan hati mereka yang idealis. Sebut saja dokter Lo. Laki-laki yang bernama lengkap Lo Siaw Ging ini tidak pernah menetapkan tarif. Dari rata-rata 60 pasien setiap harinya yang datang berobat, sekitar 70% tidak membayar dan beliau tidak keberatan. Tempat praktek yang juga rumahnya di Solo itu tidak hanya dipenuhi oleh pasien dari kota yang sama, tapi juga dari kota-kota sebelah. Begitu pula Prof. Aznan Lelo, seorang guru besar farmakologi klinik di Medan, membuka praktik tanpa papan nama. Beliau akan merasa tersinggung jika ada pasien yang datang berobat dan menanyakan harga jasanya. Ya, beliau tidak ambil pusing berapa pun bayaran yang pasien berikan, atau bahkan jika tidak dibayar sama sekali. Tetap saja mereka dilayani dengan obat racikannya sendiri atau obat-obat resep yang harganya terjangkau.

Dokter Lo via biografiku.com

Dokter Lo via biografiku.com

Prof-Dr-Aznan-1

Prof. Dr. Aznan Lelo via silet.info

Dua di atas hanyalah sebagian dari banyak cerita yang ada. Tentu masih banyak dokter-dokter yang rela bekerja dengan tidak memikirkan apakah mereka dibayar atau tidak. Keinginan mereka hanyalah menjalankan profesi sebaik-baiknya untuk menolong yang membutuhkan. Kita harus bersyukur, di tengah persaingan ketat dan biaya sekolah kedokteran yang tidak murah, masih banyak yang ingin membaktikan dirinya untuk kemanusiaan,

Nilai positif dari hal ini tentu tidak diragukan, namun apakah memberikan layanan pengobatan gratis adalah hal yang tepat? Apalagi saat ini Indonesia sudah memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan sistem kesehatan yang bermaksud meng-cover seluruh masyarakat tanpa terkecuali, masih perlukah mereka dilayani di klnik-klinik yang membebaskan biaya?

Sayangnya kesejahteraan negeri ini belumlah merata dengan baik. Ekonomi yang buruk telah membentuk mental masyarakat kita yang menyenangi semua yang bersifat gratis, bahkan menuntutnya. Lihat saja jika ada yang mengadakan bakti sosial balai pengobatan gratis. Orang-orang akan berbondong-bondong, bahkan yang tidak sakit pun ikut datang. Karena ada yang gratis, yang sehat pun akan merasa dirinya sakit demi mendapat obat secara cuma-cuma. Ketidaksenangan bisa muncul jika tidak diberi obat karena dokter memutuskan bahwa mereka sehat wal afiat. Juga jika orang-orang kesehatan dari kota ingin melakukan screening atau survey kesehatan ke desa. Mereka akan kecewa, atau bahkan kurang menyambut dengan hangat, jika tidak diiringi dengan pengobatan gratis.

Setelah balai pengobatan selesai, selesaikah masalah kesehatan masyarakat tersebut? Tentu tidak. Masalah kesehatan yang bermula dari minimnya pendidikan, gizi yang kurang, dan sanitasi buruk tidaklah terpecahkan. Untuk kontrol ke puskesmas pun bisa jadi enggan karena akses yang sulit.

Dokter Sedang Memberikan Layanan di Balai Pengobatan

Dokter Sedang Memberikan Layanan di Balai Pengobatan

Bukankah layanan klinik pengobatan cuma-cuma dapat semakin menanamkan mental mereka yang ingin serba gratis?

Adanya tempat yang memberikan layanan gratis juga dapat memberikan edukasi yang buruk kepada masyarakat. Untuk apa menjaga dan memelihara kesehatan? Toh, ada dokter yang mau memeriksa dan memberikan obat tanpa biaya. Tidak apa terus merokok atau minum alkohol atau tidak mengontrol makanan, nanti kalau merasa sakit tinggal datang ke dokter dan dapat obat. Setidaknya, senior saya yang sempat membuka tempat praktik gratis memutuskan untuk menghentikannya karena alasan di atas.

Selain itu, sebenarnya layanan klinik gratis kurang selaras dengan sistem JKN yang telah diterapkan sekarang. Bagaimana bila klinik gratis ada di mana-mana, masyarakat menjadi berpikir, “Jika bisa berobat gratis, untuk apa capek-capek bayar iuran BPJS per bulan?” Terlebih, layanan bagi peserta BPJS hingga saat ini terkenal tidak memuaskan. Bukankah lebih baik datang saja ke klinik yang bersedia tidak mematok tarif? Pemikiran ini bisa berakibat fatal.

Semenjak diluncurkan di awal tahun 2014, pelaksanaan JKN menuai banyak ketidakpuasan. Sampai sekarang, nada-nada miring tentang BPJS masih bergema. Inti permasalahan dari sistem kesehatan sekarang ialah adanya defisit (orang BPJS menolak disebut ‘defisit’ tapi ‘mismatch’).

Ralat, bukan sekedar ada, tapi sangat besar. Pada 2014, BPJS mengalami defisit sebesar 3,3 triliun dan pada tahun 2015 mengalami kenaikan menjadi 6 triliun. Ini dikarenakan jumlah peserta BPJS terus mengalami peningkatan, sedangkan penerimaan yang diperoleh sangat tidak seimbang dibanding pengeluaran. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Prinsip dari sistem asuransi kesehatan nasional ialah gotong royong. Sumber pendanaan untuk membiayai pelayanan kesehatan seluruh warga Indonesia yang terdaftar ialah dari iuran premi per bulan—selain suntikan dana dari pemerintah. Jika banyak peserta yang tidak taat untuk terus membayar per bulan, maka merugilah ia.

Peserta yang paling membebani JKN ialah golongan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Tidak seperti karyawan yang langsung dipotong gajinya untuk iuran BPJS, mereka mesti membayar sendiri secara manual, dan resiko ketidakdisiplinan sangat besar. Yang sangat disayangkan lagi ialah moral yang sangat buruk dari peserta ini. Mereka akan membayar BPJS jika sedang menderita sakit atau membutuhkan perawatan. Sebagai asuransi sosial, BPJS wajib langsung menanggung biaya pengobatannya. Tapi, setelah sembuh, banyak dari mereka yang tidak mau membayar iuran lagi. Bisa dibayangkan, orang yang baru daftar BPJS dengan membayar 30 ribu langsung mendapat layanan operasi seharga belasan juta? Dan setelah selesai operasi, ia tidak mau bayar iuran lagi?

Sudah pasti BPJS defisit.

Keuangan BPJS yang “rugi” ini berbuntut panjang. Besaran kapitasi dan klaim yang dibayarkan BPJS ke faskes/RS menjadi sangat kecil. Pelayanan berharga jutaan rupiah hanya dihargai ratusan ribu. Kapitasi yang tak seberapa membuat minimnya sarana dan obat-obatan yang tersedia di faskes tingkat pertama; pasien pun kemudian dirujuk. Rumah sakit menjadi penuh sesak oleh pasien-pasien rujukan. Pembayaran klaim atas pasien BPJS yang sangat rendah membuat RS menombok cukup besar. RS sudah pasti rugi jika ada pasien BPJS masuk ICU. Akibatnya, supaya tidak gulung tikar, RS swasta membatasi jumlah bed untuk peserta BPJS. Bagi yang tidak kebagian tempat, akan dirujuk ke RS pemerintah yang disokong keuangannya oleh pemerintah.

Jumlah pasien rujukan di RS pemerintah semakin membludak. Ruangan rawat inap atau ICU yang sudah penuh memunculkan headline berita “Rumah Sakit Menolak Pasien Miskin”. Pasien harus mengantri dari jam 2 pagi di loket untuk mendaftar ke poliklinik. Malas mengantri di poli, mereka datang langsung ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tapi sayang, karena tidak sesuai dengan kriteria gawat darurat yang BPJS tetapkan, akhirnya mereka harus membayar sendiri (tidak ditanggung BPJS). Tidak puas, pasien protes dan marah-marah ke dokter/RS yang hanya menjalankan protokol dari BPJS. Kondisi IGD juga seperti festival pasar malam karena saking penuhnya. Jumlah pasien yang sangat banyak membuat para dokter kelimpungan dan kelehahan; misdiagnosis seperti penyakit jantung yang dikira sakit mag pun terjadi….Tidak perlu bicara tentang besaran honor untuk tenaga kesehatan yang sudah banyak dipotong.

Merugi, BPJS pun meminta injeksi dana dari pemerintah. Karena banyak untuk BPJS, alokasi anggaran kesehatan untuk Kementerian Kesehatan menjadi berkurang. Akibatnya, dana yang ada untuk menjalankan program-program Kemenkes dan meningkatkan sarana-prasarana kesehatan menjadi tidak optimal.

Buntut dari permasalahan defisitnya anggaran BPJS sangat panjang dan berdampak besar. Sudah defisit, banyak yang tidak mau ikut sistem gotong royong ini dengan mendaftar sebagai peserta; mereka memilih berobat saja ke klnik yang gratis. Bukankah dapat membuat keadaan semakin parah?

Jika memang pengobatan serba gratis hakikatnya tidak mendidik masyarakat dan juga berdampak negatif bagi sistem kesehatan, lalu apa yang bisa dilakukan? Tidak adakah celah bagi mereka para pengabdi yang benar-benar ikhlas ingin menolong orang untuk sukarela?

Saya pribadi berpendapat, hal yang tepat di era JKN ini ialah memperbanyak fasilitas kesehatan tingkat pertama. Puskesmas dan juga klinik-klinik tingkat pertama seharusnya menjadi ujung tombak dalam sistem kesehatan sekarang. Jika pelayanan primer baik dan maksimal, jumlah rujukan akan berkurang; biaya yang dikeluarkan bisa tertekan. Dana yang ada pun bisa lebih dioptimalkan untuk peningkatan kualitas layanan.

Mungkin akan sangat baik jika memperbanyak klinik-klinik primer BPJS. Dokter di klinik itu mengajak seluruh warga di sekitarnya untuk mendaftar BPJS. Tidak hanya itu, tugas tenaga kesehatan juga untuk memotivasi mereka supaya taat bayar iuran per bulan. Kesuksesan sistem kesehatan ini sangat bergantung dari ketaatan pesertanya untuk bayar iuran. Selain pembiayaan pelayanan, BPJS juga mengalokasikan untuk program promotif dan preventif yang bisa dilaksanakan oleh klinik-klinik pratama. Syukur benar jika masyarakat benar-benar berhasil diberdayakan untuk menjaga kesehatannya sendiri, sehingga biaya untuk pengobatan juga bisa kembali dihemat.

Tantangan dari pendirian klinik BPJS ini mungkin ialah kapitasi yang tidak seberapa. Hal ini membuat klinik-klinik melakukan penghematan sebisa mungkin, contohnya penyediaan jumlah obat-obatan. Jenis-jenis obat yang ada juga terpaksa dibatasi. Bagian inilah yang bisa menjadi celah bagi seorang pengabdi. Mungkin pendirian klinik bukanlah penghasilan utamanya: ia bisa mencari nafkah dari pekerjaan lain, dan sebagian dari pemasukannya “disumbangkan” untuk pembiayaan layanan kliniknya yang tidak ter-cover kapitasi BPJS.

Semakin banyak orang yang taat membayar iuran, pemasukan BPJS akan semakin besar, defisit menurun bahkan mungkin saja bisa jadi surplus (kita berdoa supaya bisa demikian). Jika anggaran cukup, memiliki sistem asuransi kesehatan nasional yang berkualitas seperti NHS di UK bukanlah mimpi. Ah, tapi tentu saja harus diiringi dengan evaluasi dan perbaikan terus-menerus dari sistem yang ada sekarang.

Namun penghormatan besar tetaplah harus diberikan kepada mereka para pengabdi yang ikhlas. Ketika orang-orang lain mengeluhkan kondisi ekonomi yang semakin lesu, masih ada yang menyimpan energi positif untuk memberi. Yaitu mereka yang tidak takut miskin; yang memiliki pemikiran bahwa dengan semakin banyak memberi, maka akan semakin kaya. Jikalah bukan kaya harta, setidaknya memiliki kekayaan hati yang senantiasa bersyukur dengan kehidupan yang sederhana.

Semoga semakin banyak kaum profesional yang tulus seperti Prof. Aznan Lelo, dr. Lo, dan dokter-dokter lain yang bekerja dengan orientasi kemanusiaan, bukan penghasilan. Sebagai anak Indonesia, kita juga tidak boleh kehilangan rasa optimis bahwa negara ini masih bisa memperbaiki sistem kesehatannya menjadi mumpuni.

Categories: gagasan, kesehatan | Tags: , , , | 1 Comment

Create a free website or blog at WordPress.com.