Michael Phelps melakukannya. Ia berhasil mematahkan rekor yang dipertahankan Leonidas sejak 2.168 tahun yang lalu. Setelah berhasil memenangkan lomba renang 200 meter, medali emas individu ke-13 miliknya tercatat sebagai raihan terbanyak sepanjang sejarah olimpiade. Hingga akhir lombanya di cabang estafet 400 meter, Phelps total merengkuh 23 medali emas. Hasil ini membuatnya menjadi atlet olimpade paling sukses yang pernah ada.
Ini merupakan keempat kalinya Phelps meraih emas di lomba pesta olah raga paling bergengsi di dunia. Namun, ada yang tidak biasa di olimpiade Rio kali ini. Ia tertangkap foto memiliki banyak bekas lingkaran kemerahan di tubuhnya layaknya habis terkena tembakan paintball. Kita akhirnya tahu bahwa ia melakukan cupping atau bekam.
Mengapa mereka melakukannya? Kompatriot Phelps, Alex Naddour, yang berpartisipasi di cabang Gymnast, mengatakan dengan berbekam ia merasa lega dari nyeri otot yang diderita akibat latihan. Itu pula yang menjadi “rahasia” bagaimana ia menjaga kesehatan. Bahkan bekam menurutnya lebih baik daripada bayaran yang ia keluarkan untuk hal lain. Tampaknya, bekam tidak hanya dilakukan oleh atlet asal Amerika, karena bekas lingkaran merah itu terlihat di tubuh atlet dari berbagai negara. Bagi mereka, bekam adalah hal terbaik untuk menghilangkan pegal dan menjaga performa.
Meskipun olympian menganggap bekam sebagai sarana terbaik untuk penampilan mereka, kalangan ilmiah memiliki pandangan lain. Di website berita Independent asal Inggris, seorang professor farmakologi asal London mengatakan bahwa melakukan bekam hanyalah “buang-buang waktu”. Tidak ada penelitian yang menunjukkan manfaat dari bekam. Para praktisi bekam sendiri pun mengakui bahwa tidak ada fondasi ilmiah dari praktek tersebut. Manfaat dari bekam selama ini hanya diketahui berdasarkan pengalaman dan testimoni para penggunanya.
Dokter pun hingga saat ini masih skeptis dengan bekam atau pengobatan-pengobatan tradisional lainnya. Hal ini wajar karena bagi dokter, setiap obat atau tindakan yang dilakukan harus berdasarkan bukti-bukti yang teruji. Mengapa pengobatan yang dilakukan dokter selalu seputar pemberian obat-obatan kimia dan tindakan operasi? Karena penelitian telah membuktikan hal tersebut memang mampu memberikan kesembuhan bagi manusia.
Pengobatan tradisional atau alternatif banyak sekali jenisnya di dunia ini. Indonesia sendiri sejak zaman dahulu memiliki tradisi pengobatan dengan meminum minuman herbal atau jamu. Tapi, jika kita datang ke dokter mengeluhkan masuk angin, dokter tidak akan meresepkan jamu, melainkan obat-obatan kimiawi. Hal ini jelas karena dalam pendidikan kedokteran tidak dipelajari mengenai jamu.
Seorang guru besar di kampus saya mengatakan bahwa menjadi ilmuwan itu harus skepstis. Dokter, profesi yang pekerjaannya selalu berdasarkan penelitian ilmiah, bersifat skeptis dengan segala pengobatan, hingga akhirnya pengobatan tersebut telah terbukti secara ilmiah. Ini menjelaskan mengapa para dokter Indonesia, contohnya, tidak menyetujui dibukanya praktek “Jaket Warsito” untuk pengobatan kanker. Orang-orang bisa bilang melalui berbagai testimoni mengenai kemampuan jaket tersebut. Namun, kedokteran bukanlah ilmu testimoni. Dokumentasi bahwa pasien justru mengalami kondisi yang lebih buruk akibat mengenakan jaket tersebut juga tidak sedikit. Apalagi, praktek pengobatan itu dilakukan oleh seorang yang tidak berlatar belakang medis—yang tidak mempelajari ilmu dasar medicine seperti anatomi dan fisiologi. Tidak bisakah dokter untuk tidak skeptis?
Walau begitu, kedokteran tidaklah sepenuhnya ilmu hitam di atas putih. Setiap dokter pasti diajarkan bahwa tugas mereka bukanlah mengobati penyakit atau organ tubuh, melainkan mengobati manusia. Tentu harus disadari bahwa manusia bukanlah makhluk mati rasa layaknya robot. Ilmu komunikasi yang baik selalu menjadi kurikulum wajib dalam pendidikan kedokteran. Komunikasi di sini jelas bukan kepada organ tubuh atau sel-sel, melainkan manusia, makhluk yang punya rasa dan punya hati.
Mungkin sering dijumpai seseorang datang berkonsultasi ke dokter kemudian berkata bahwa jika mengalami demam, ia akan meminum madu atau habbatussauda atau obat herbal lain. Atau bertanya apakah jika mengalami nyeri punggung ia bisa menghilangkannya dengan berbekam. Bagaimana seharusnya dokter menjawab? Apakah dengan mengatakan, “Tidak perlu, itu hanya buang-buang waktu!”?
Jika itu yang dikatakan, secara keilmuan adalah benar, namun secara komunikasi adalah sangat buruk. Kita tidak boleh lupa, ilmu kedokteran takkan pernah bisa dilepaskan dari komunikasi yang baik.
Jika menghadapi kondisi di atas, saya selalu diajarkan, jawaban terbaik adalah, “Silakan. Tapi kalau setelah minum obat herbal demamnya tidak turun juga selama 3 hari, atau penyakitnya semakin parah, silakan kembali ke dokter.” Ini adalah sebuah win-win solution. Pasien dapat melakukan apa yang diyakininya dan dokter telah melaksanakan tugasnya berupa edukasi kesehatan.
Itu hanya salah satu contoh saja. Pun dengan pengobatan tradisional/alternatif yang lain. Selama diketahui bahwa pengobatan itu tidak menyakiti atau membuat lebih parah, pasien akan dipersilakan untuk melakukannya, dengan catatan jika kondisi tidak membaik kembalilah ke dokter.
Kondisi berbeda jika pengobatan tradisional itu jelas-jelas memperburuk keadaan. Contoh sederhana adalah jika mengalami patah tulang. Dokter akan melarang atau tidak akan merekomendasikan ke tukang urut. Kenapa? Karena menurut keilmuan mereka, jika mengalami patah tulang, hal pertama yang dilakukan adalah jangan menggerakkan bagian tubuh yang patah; itu hanya akan membuat patahan semakin luas dan merusak jaringan sekitar. Hal sebaliknya justru dilakukan tukang urut yaitu malah menggerak-gerakkannya. Hal terburuk, patah sederhana bisa menjadi komplikatif, yang dapat berujung kepada amputasi.
Ilmu kedokteran juga tidaklah bersifat menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Ia pada hakikatnya mau membuka diri dengan pengobatan herbal atau tradisional, jika memang ternyata terbukti ilmiah. Ilmu kedokteran sendiri mengakui obat-obat herbal yang memang telah teruji secara klinis, atau fitofarmaka, dan dokter yang memiliki pemahaman tentang fitofarmaka tidak akan segan untuk meresepkannya. Begitu pula, contohnya, dengan jaket Warsito. Sejatinya dokter menerima ide tersebut dengan baik. Namun, karena belum terbukti, dan dikhawatirkan malah dapat membahayakan pasien, praktek tersebut harus dihentikan hingga secara ilmiah teruji. Sayang, salah satu anak bangsa terbaik tersebut, DR. Warsito, pada akhirnya meneruskan penelitiannya di Eropa.
Hal yang sama berlaku untuk bekam/cupping/hijama. Praktek ini memiliki sejarah yang sangat panjang, mundur hingga 1500 SM ke Mesir Kuno sana. Bekam sendiri sebenarnya merupakan praktek kedokteran yang sangat populer zaman dulu. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa Hippocrates, bapak kedokteran dunia, menyarankan bekam. Setelah scientific method atau metode ilmiah menjadi landasan para ilmuwan, bekam mulai ditinggalkan. Tapi hal ini tidak menutup kemungkinan untuk meneliti bekam dalam metode ilmiah. Jika pada akhirnya terbukti, para dokter di seluruh dunia tidak akan ragu untuk merekomendasikannya.
Segala kemungkinan sangat terbuka di dunia kedokteran. Masih banyak rahasia-rahasia alam yang belum terkuak. Hal yang dulu dianggap buang-buang waktu, bisa saja menjadi standar pengobatan ke depannya. Dahulu, para dokter merasa tidak perlu melakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Kala itu, bakteri atau kuman dianggap takhayul. Setelah terbukti, cuci tangan menjadi hal yang sangat—sangat sangat—wajib bagi seluruh tenaga kesehatan. Begitu juga, misalnya, dengan “kerokan”. Sekilas, praktek semacam itu hanya akan menimbulkan reaksi radang, hingga akhirnya pada tahun 2005 Universitas Airlangga mencari tahu tentang itu. Penelitian itu menunjukkan kerokan dapat merangsang pengeluaran senyawa kimia penghilang nyeri dan sebaliknya menghilangkan senyawa penimbul nyeri. Memang penelitian itu bukanlah uji klinis dan hanya menggunakan sampel yang sedikit, tapi setidaknya sudah ada landasan bahwa kerokan bukanlah hanya buang-buang waktu.
Di sinilah mengapa setiap manusia tidak punya hak untuk meninggikan diri. Bahkan sains yang dipuja-puja di era materalis saat ini oleh ilmuwan sendiri disebut sebagai sesuatu yang fragile. Seberapa sering di buku kuliah kedokteran terdapat tulisan, “…not fully understood”? Sains atau ilmu pasti tidaklah selalu bersifat pasti. Apa yang dahulu dianggap ilmiah bisa dianggap takhayul di kemudian hari. Begitu pula apa yang dianggap mitos hari ini bisa saja merupakan suatu fakta di masa depan. Ya, karena Sang Pemilik Ilmu, Tuhan Semesta Alam, sudah mengatakannya kepada manusia:
“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al Israa’: 85)