Posts Tagged With: pendidikan kedokteran

Penambahan Jumlah FK Tiada Henti, untuk Melahirkan Dokter-Dokter Neolib

Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Seharusnya mereka tengah memasuki tahap selanjutnya dari pendidikan kedokteran, yaitu pendidikan profesi atau yang lebih dikenal sebagai koasistensi. Tapi apa daya, tidak ada Rumah Sakit yang dapat menampung. Memang Fakultas Kedokteran tempat mereka belajar telah bermitra dengan sebuah Rumah Sakit untuk dijadikan sebagai wahana pendidikan, tapi jumlah tenaga pengajarnya amat terbatas. Akhirnya, kerja sama pun dijalin dengan RS-RS lain, bahkan yang di luar propinsi nuh jauh di sana. Tapi tetap saja, jumlah koasisten yang mencapai angka ratusan itu tak mampu terserap semuanya. “Mengantri” untuk masuk RS pun tak bisa dihindari.

Itu hanya salah satu problem yang dihadapi oleh para mahasiswa fakultas kedokteran yang belum terakreditasi dengan baik. Seorang mahasiswa semester VII juga terpaksa “mengantri” untuk melakukan praktikum karena terbatasnya sarana membuat satu ruangan berperan multifungsi sebagai laboratorium histologi, anatomi, mikrobiologi, dll. Begitu pula di suatu daerah sana, satu kelas yang pengap lebih terlihat sebagai tempat seminar daripada ruang kuliah karena satu dosen harus berbicara di hadapan 260 mahasiswa.

Masalah-masalah di atas dialami oleh fakultas kedokteran. Anda tentu tahu kan, apa itu fakultas kedokteran? Yaitu tempat dilahirkannya orang-orang yang bertugas melayani kesehatan seseorang. Ketika ada salah satu anggota keluarga kita tiba-tiba jatuh pingsan, atau terkena serangan jantung, orang-orang lulusan fakultas itulah yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pertama. Melalui pertolongan pertama yang sangat krusial (dan tentu saja kehendak Tuhan) segalanya ditentukan: bertahan hidup karena penanganan yang baik atau meninggal karena ketidaktepatan dan keterlambatan penatalaksanaan. Tentu saja kita masyarakat sangat menginginkan petugas yang menangani kesehatan keluarga kita itu alias dokter memiliki kapasitas yang mumpuni. Tapi, dengan membaca kembali masalah-masalah yang dimiliki sarana pendidikan tempat mereka belajar, apakah kita terlalu lugu untuk berekspektasi demikian?

Semenjak tahun 2013, kalangan akademisi dunia kedokteran mendesak pemerintah untuk menghentikan pendirian FK baru. Kenapa? Alasannya karena pada tahun itu sudah berdiri 73 fakultas kedokteran dan banyak dari FK tersebut yang tidak terpantau kualitasnya. Dari jumlah sebanyak itu, hanya belasan FK yang berakreditasi A, dan lebih dari 20 berakreditasi C. Tapi sepertinya desakan itu tidak dianggap, dengan alasan “besarnya kebutuhan dokter” sehingga diambil logika dibukanya FK-FK baru untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Universitas Teknik Tak Ingin Ketinggalan Membuka FK

Universitas Teknik Tak Ingin Ketinggalan Membuka FK

Benarkah Indonesia kekurangan dokter? Mari kita lihat sama-sama. Menurut perbandingan yang dianut oleh dunia, perbandingan ideal adalah satu FK untuk 4 juta penduduk dan satu dokter untuk 2.500 jiwa. Jadi, berdasarkan rasio universal tersebut, dengan estimasi jumlah penduduka negara ini sebesar 240 juta orang, Indonesia hanya butuh 60 FK dan 96.000 dokter. Kenyataannya, hingga saat ini sudah ada 83 FK (termasuk 8 FK yang dibuka baru-baru ini) dan tercatat 110.000-an dokter memiliki Surat Tanda Registrasi.

Masalah yang dihadapi republik ini bukanlah jumlah yang kurang melainkan distribusi yang sangat timpang. Sudah kita ketahui bersama nilai konsentrasi tenaga kesehatan di ibukota sangat tinggi, terlebih dokter spesialis. Sering terdengar pemerintah-pemerintah daerah terpencil mengeluhkan minimnya dokter. Naifnya, masalah tersebut dikira bisa diselesaikan dengan membuka FK baru, begitu kata pemerintah pusat. Tidakkah tidak bisa dilihat bahwa dari 8 FK yang baru saja dibuka, lima kampus tersebut berada di ibukota propinsi?

Sekarang mari kita berpikir lagi, berapakah biaya yang dikeluarkan suatu universitas untuk membuka fakultas kedokteran? Uang yang mesti digelontorkan untuk membangun gedung, ruangan-ruangan laboratorium dan peralatannya, manekin-manekin dan alat kedokteran untuk keterampilan klinik dasar; tentu itu semua tidak murah. Siapa yang membiayai semua pengeluaran itu? Jangan bermimpi dibiayai oleh pemerintah. Bukan hal yang mengherankan untuk masuk suatu fakultas kedokteran, terlebih swasta, perlu membayar uang pangkal/uang gedung hingga 500 juta rupiah. Belasan hingga puluhan juta adalah besaran yang harus dirogoh orang tua mahasiswa tiap semesternya.

Jika seseorang mesti mengeluarkan puluhan hingga ratusan juta rupiah demi mengenyam pendidikan, tentu setelah lulus yang menjadi orientasinya adalah bagaimana agar bisa segera balik modal. Para orang tua yang “menanam” uang sekian besar tersebut pada pendidikan anaknya tentu berharap anaknya kelak dapat berpenghasilan melebihi yang telah dikeluarkan tersebut. Akhirnya, fakultas kedokteran bukan lagi sebagai tempat mendidik orang-orang untuk melayani kesehatan manusia, melainkan mencetak lulusan-lulusan yang berburu gelar dokter spesialis agar kelak bergaji puluhan juta. Adakah hasil pendidikan seperti ini membentuk dokter-dokter yang siap mengabdi ke daerah terpencil?

Uang masuk dan spp yang begitu besar itu pun ternyata belum dianggap mampu membalikkan modal atas investasi besar untuk membuka sebuah FK. Universitas-universitas yang baru saja membuka FK itu pun membuka pendaftaran sebanyak-banyaknya bagi mahasiswa baru. Tak tanggung-tanggung, FK berakreditasi C dengan jumlah dosen yang hanya dua puluhan berani menerima hampir 300 mahasiswa baru. Padahal, telah ada regulasi yang mengatur jumlah mahasiswa baru suatu FK. Nilai akreditasi suatu FK disertai persentase mahasiswa yang lulusan ujian kompetensi untuk menjadi dokter berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa yang boleh diterima. Sebagai contoh, suatu FK akreditasi C dengan persentase kelulusan ujian kompetensi dokter di bawah 50%, hanya berhak menerima 50 mahasiswa baru. Tapi memang otak sudah komersil, tanpa memedulikan himbauan Dirjen Dikti tersebut, FK akreditasi C dengan persentase kelulusan sekitar 20% nekat mengambil 200 mahasiswa baru.

Akankah masyarakat Indonesia dapat berharap dokter-dokter yang semenjak masuk isi kepalanya sudah dipenuhi angka juta-juta rupiah untuk mengabdi? Apakah institusi pendidikan yang begitu kekurangan tenaga pengajar dan sarana yang layak akan menghasilkan lulusan-lulusan yang kompeten? Sadarkah kesehatan kita semua kelak akan bergantung kepada dokter-dokter lulusan institusi yang telah disebut di atas?

Sebagian berargumen bahwa tidak mengapa jumlah FK terus ditambah demi menambah jumlah dokter, yang paling penting adalah tetap adanya ujian kompetensi. Bagi dokter-dokter yang sudah senior, mungkin kata “ujian kompetensi” terasa asing. Dahulu, tidak dikenal ujian semacam ini; setelah menyelesaikan masa koasistensi, mahasiswa kedokteran dianggap telah kompeten dan disumpah menjadi dokter. Tapi, dengan banyaknya sekolah kedokteran yang kualitasnya tidak terawasi seperti sekarang, tentu cara di atas sudah tidak bisa dipakai lagi. Perlu ada ujian untuk menjamin kualitas dokter-dokter baru. Berlatar belakang masalah seperti ini, ujian kompetensi pun lahir. Dan memang, FK berakreditasi A dan telah punya nama dapat meluluskan >90% mahasiswanya. Sebaliknya, FK yang kualitasnya belum ternilai hanya 20% mahasiswa yang lulus. Dan setiap periode ujian kompetensi hal ini terus berulang. Ada mahasiswa yang sampai ikut ujian 17x tapi tidak lulus-lulus juga….Ribuan sarjana kedokteran menganggur karena belum cukup kompeten menjawab soal-soal ujian.

Peluang bisnis tercium, akhirnya tumbuhlah bimbingan-bimbingan belajar. Saat ini jumlahnya mungkin sudah banyak sekali. Dalam waktu 3 bulan, peserta bimbel disiapkan agar dapat menjawab pertanyaan soal-soal ujian tulis dan praktikum. Jika lembaga bimbel tersebut dipenuhi oleh retaker atau mereka yang sebelumnya tidak lulus ujian, sepetinya hal tersebut tidak mengagetkan. Entahlah. Saya percaya ini sesuatu yang positif dalam membantu orang-orang untuk mencapai cita-cita mereka. Tapi menurut penulis, yang membuat seseorang menjadi “dokter” bukanlah karena ia lulus ujian. Setiap proses dari mempelajari berbagai macam kasus hingga berinteraksi dengan para pasien yang menjadi “guru” mereka; menurut saya, pengalaman-pengalaman itulah yang menjadi bekal berharga ketika sudah masuk dunia kerja.

Mengapa begitu banyak universitas tergiur untuk membuka fakultas kedokteran? Jelas, karena FK adalah sapi perah yang sangat produktif. Jumlah orang yang bercita-cita menjadi dokter tak pernah kurang. Termasuk peminat 8 FK yang baru saja dibuka menjelang tahun ajaran baru ini. Satu kursi mereka diperebutkan empat orang, bahkan ada yang enam orang. Suatu FK yang baru saja dibuka hanya boleh menyediakan 50 kursi, sehingga peminat mereka tidak kurang dari 200 orang. Ya, fakultas kedokteran adalah bisnis yang menggiurkan bagi universitas yang begitu haus akan kucuran dana.

Mengapa amat banyak anak-anak muda yang bercita-cita menjadi dokter? Tidak bisa dipungkiri, kesan glamor dan hidup mewah sering dilekatkan pada profesi dokter. Calon mertua mana yang berani menolak lamaran seseorang yang berjas putih dan berkalung stetoskop?

Tujuan tersebut tak bisa ditutupi. Hal itu memang tidaklah salah; adalah hak setiap orang menentukan bentuk jalannya untuk mencapai kesuksesan. Namun, semoga apa yang pernah diucapkan Hippocrates, “…dokter bertujuan menolong si sakit…” ribuan tahun yang lalu tidak serta merta memudar. Semoga pula niat mulia dr. Radjiman Wedyodiningrat yang tekun mempelajari ilmu kedokteran karena prihatin dengan masyarakat Ngawi yang terkena wabah pes tidak kita lupakan.

Tapi, apabila ini terus dibiarkan, apabila pembukaan fakultas kedokteran baru yang bertujuan mengeruk keuntungan tidak dihentikan, jangan salahkan jika lahir generasi-generasi muda NKRI yang neolib. Setiap orang bebas saling sikut sana dan sini hanya demi tujuan materi. Keselamatan dan kualitas hidup pasien bukan lagi menjadi prioritas, karena yang dipikirkan bagaimana agar segera mendapat keuntungan. Kegiatan pasar begitu bebasnya sehingga dokter pun bebas melabrak etikanya dengan ikut-ikutan berdagang kepada pasien. Generasi ini pula lah yang mengganggap rumah di pinggiran kali sebagai polusi semata dan bangga dengan resort-resort mewah di atas pulau reklamasi, tak peduli dengan kaum tergusur yang kehilangan mata pencahariannya. 

Marwah profesi ini perlu diselamatkan. Pembukaan FK baru harus dihentikan. Institusi-institusi yang jumlah pengajar dan sarananya tak layak ada baiknya ditutup. Biarlah jumlah FK dan dokter tidak banyak, toh jumlahnya kini sudah berlebih. Yang penting adalah bagaimana setiap lembaga pendidikan kedokteran tidak hanya mendidik ilmu anatomi dan ilmu patofisiologi, tapi mencetak mereka yang bukan mengobati penyakit melainkan menyembuhkan manusia, dan rela ditugaskan di mana pun mereka dibutuhkan.

nb: sy tahu penggunaan istilah “neolib” terlalu lebay. Kata ini dipilih agar kekinian saja.

 

Categories: gagasan, kesehatan, merenung | Tags: , , , | 3 Comments

Yakin Mau Menjadi Dokter? Hal-Hal yang Perlu Kamu Ketahui Tentang Profesi Ini

DSC_0231

Dokter bisa dibilang merupakan salah satu profesi yang paling diidamkan. Adalah mimpi setiap orang tua bila bisa mengkuliahkan anaknya di fakultas kedokteran. Bagaimana tidak, profesi dokter sering diidentikkan dengan pekerjaan mulia yaitu memyembuhkan orang sakit. Jika diri kita atau orang tua menderita sakit, bahkan sakit parah, kita akan sangat berterima kasih dan mungkin kagum dengan dokter yang telah melakukan pekerjaannya. Selain itu, tidak bisa dipungkiri, dokter identik dengan penghasilan besar dan hidup mewah; barangkali ini merupakan faktor terbesar yang mendorong orang banyak untuk kuliah kedokteran.

Meskipun demikian, perjalanan untuk menjadi dokter sangatlah tidak mulus; bisa dikatakan cukup berat. Setelah menjadi dokter pun, belum tentu ekspektasi yang diharapkan bisa terpenuhi. Intinya, menjadi dokter tidaklah seindah yang dibayangkan kebanyakan orang yang tidak memahami profesi tersebut.

Kamu ingin menjadi dokter? Atau kamu ingin anak-anakmu menjadi dokter? Berikut adalah hal-hal yang harus diketahui sebelum benar-benar membulatkan tekad memilih profesi tersebut

  1. Sekolah yang Lama
Mahasiswa FK

Mahasiswa FK

Mungkin sudah banyak yang mengetahui bahwa perjalanan menjadi dokter tidaklah ringan. Di fakultas lain masa studi bisa diselesaikan dalam 4 tahun—bahkan ada yang 3,5 tahun bagi mereka yang pintar—namun untuk menjadi dokter waktu yang dibutuhkan minimal adalah 5 tahun. Malah, masih ada beberapa fakultas kedokteran (FK) di beberapa universitas yang masih menerapkan pendidikan 6 tahun.

Jenjang pendidikan kedokteran secara umum dibagi 2, yaitu tahap sarjana kedokteran dan pendidikan profesi yang lebih dikenal sebagai tahapan koas. Tahap sarjana bisa ditempuh minimal selama 3,5 atau 4 tahun, tergantung kebijakan masing-masing FK. Perlu diketahui, jika di fakultas lain mungkin ada program percepatan, maka di FK tidak ada. Tiga setengah atau empat tahun benar-benar waktu fix yang harus dilalui. Setelah diwisuda menjadi sarjana kedokteran (S.Ked), calon dokter pun langsung menjalani pendidikan profesi di rumah sakit.

Jika dihitung-hitung, saat mahasiswa fakultas lain rata-rata sudah lulus, berpenghasilan, punya istri dan anak, mahasiswa FK sedang jaga malam di RS :p

  1. Proses Pendidikan yang Berat
Ujian OSCE

Ujian OSCE (sumber: http://unprimdn.ac.id/)

Tidak hanya lama, pendidikan kedokteran juga dikenal sebagai pendidikan yang tidak mudah. Tanyakanlah kepada para mahasiswa fakultas lain yang bertetangga dengan fakultas kedokteran; mereka akan mengatakan bahwa teman-teman di FK menjalani pendidikan yang berat. Itu baru fase S.Ked; di masa koas, proses pendidikannya pun menjadi jaluh lebih menantang.

Kuliah kedokteran identik dengan banyaknya materi yang harus dipelajari. Tidak seperti kuliah teknik atau sains yang banyak bermain logika, orang yang mempelajari ilmu kedokteran dituntut untuk banyak membaca. Jika tidak banyak membaca, otomatis tidak akan banyak tahu dan dijamin ketika ujian pun bingung. Memang banyak yang harus “dihapal” layaknya pelajaran biologi ketika SMA, namun juga harus dipahami agar benar-benar bisa mengerti dan ilmunya tidak hilang begitu saja. Alhasil, pekerjaan mahasiswa FK ialah banyak membaca.

Sekarang hampir semua (atau semua ya?) FK sudah menerapkan sistem kurikulum yang menuntut mahasiswa untuk “belajar sendiri”, atau disebut dengan kurikulum problem based learning (PBL). Pada sistem ini, kuliah amat minim…di FK saya sendiri kuliah tentang ilmu kedokterannya hanya sekitar 6 jam per minggu. Sisanya dipelajari dalam kelompok diskusi PBL, yang notabene tiap mahasiswa harus mencari dan belajar sendiri. Bagaimana ketika diskusi bingung dan mentok? Jangan berharap bertanya ke dosen; mungkin ada dosen berhati malaikat yang mau menjawab, namun kebanyakan akan menjawab, “Baca sendiri, ya!” Begitulah, mahasiswa benar-benar harus membaca sendiri textbook.

Bentuk ujian di FK pun tidak hanya berupa ujian tulis. Ada bentuk ujian yang meminta mahasiswa untuk mempraktekkan keterampilan klinik, apakan itu berupa wawancara medis, pemeriksaan fisik, atau tindakan bedah. Ujian ini dikenal dengan OSCE. Keterampilan tersebut diujikan ke standard patient atau ke manekin, langsung di hadapan penguji, dan peserta rata-rata hanya diberi waktu 10 menit. Setelah selesai, peserta keluar ruangan dan berpindah ke ruangan selanjutnya untuk mempraktekkan keterampilan yang berbeda, tergantung soal. Dan, bagi yang pernah merasakannya, seperti naik roller coaster J.

Yahh, menurut saya pribadi, ujian OSCE “tidak seberapa” dibandingkan ujian SOOCA. Tidak semua FK menerapkan jenis ujian ini. Intinya, ada 15 kasus yang mesti dipelajari oleh mahasiswa. Saat ujian, kasus tersebut akan diundi, dan peserta diberi waktu 20 menit mempresentasikannya di hadapan 2 penguji. Bagi yang pernah mengalaminya, rasanya seperti jatuh dari gedung tinggi :p

  1. Tahapan Koas yang Melelahkan
Koas Jaga

Koas Jaga (sumber: https://ask.fm/abdichsan)

Koas atau “dokter muda” merupakan tahapan pendidikan profesi yang dijalani di rumah sakit. Peserta didik akan mengitari setiap departeman yang ada di RS, seperti depaertemen penyakit dalam, ilmu kesehatan anak, bedah, kebidanan dan kandungan, dst. Proses ini ditempuh selama 1,5 atau 2 tahun. Di tahapan ini, ilmu yang dipelajari di masa sarjana diterapkan di tiap bagian…walau kebanyakan sih “belajar lagi dari awal” karena apa yang ada di saat mahasiswa sudah dilupakan :p. Tidak heran kalau koas selalu dimarah-marahi oleh konsulen (dokter spesialis pengajar).

Sama seperti ketika sarjana, jangan berharap ada kuliah atau ada konsulen yang mau mengajarkan atau menjawab pertanyaan. Jika ada koas bertanya, kebanyakan akan ditanya balik, dan ujung-ujungnya disuruh belajar sendiri…dan benar-benar harus dipelajari karena keesokan hari sang konsulen bisa menagihnya. Ya karena itulah, penting untuk berdoa supaya dapat konsulen yang baik, heheh.

Kemudian, pamungkas dari tahap koas ialah jaga malam. Frekuensi jaga tergantung bagian, ada yang seminggu sekali, seminggu dua kali, dua minggu tiga kali…dan setelah selesai jaga malam, paginya langsung lanjut bertugas hingga sore. Jadi, masuk dari pagi dan baru pulang besok sorenya. Ya masih bisalah curi-curi waktu tidur. Berdoa saja residen (dokter yang sedang menempuh pendidikan dokter spesialis) baik hati dan tidak banyak menyuruh-nyuruh. Jadi tidak perlu heran setelah bertugas satu setengah hari nonstop kebanyakan koas menjadi zombie.

  1. Usai Pendidikan Selama 5-6 Tahun, Dihadapkan dengan Uji Kompetensi Nasional
Uji Kompetensi Dokter

Uji Kompetensi Dokter (sumber: https://ndinandina.wordpress.com/)

Ujian ini dulu dikenal dengan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), sekarang berganti nama menjadi Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD). Setelah selesai masa koas, calon dokter belum bisa menjadi dokter jika belum lulus ujian ini.

Terdiri dari 2 bentuk, yaitu ujian tulis dan ujian OSCE, ujian ini diselenggarakan secara nasional dan standar soalnya pun skala nasional, seperti UN. Jika belum lulus ujian, calon dokter mesti menunggu 3 bulan berikutnya untuk ujian ulang. Dalam setahun, uji kompetensi diselenggarakan empat kali. Kalau belum lulus juga, terus saja ujian ulang sampai lulus. Saya dengar, ada yang ikut sampai belasan kali tapi belum lulus juga :O.

Ujian ini penting untuk menjaga kualitas dokter Indonesia. Saat ini ada 73 atau lebih FK di negeri ini dan belum semuanya terakreditasi. Ilmu kedokteran tidak berhubungan dengan mesin, benda mati, atau hewan; ia diaplikasikan untuk manusia hidup. Tentu mengerikan bukan jika kita atau keluarga kita diobati oleh dokter yang kualitasnya tidak jelas? Karena itulah, calon dokter benar-benar harus belajar keras menghadapi ujian ini, terlebih nilai minimal untuk lulus ialah 68. Weewww….

  1. Lalu Setelah Disumpah Menjadi Dokter, Wajib Mengikuti Program Penempatan Selama Setahun dengan Pemasukan di Bawah Gaji Standar Buruh
Dokter Internsip

Dokter Internsip

Program ini dikenal dengan Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) atau lebih dikenal dengan internsip. Program ini ialah syarat agar dokter yang baru lulus tersebut bisa menjalankan praktek. Kalau belum menjalani internsip, maka ia belum berhak untuk bekerja atau praktek.

Internsip dijalankan secara nasional dengan wahana kerja yang menyebar dari Sumatera hingga Papua. Jika beruntung, bisa dapat wahana kerja yang tidak jauh dari rumah, tapi jika kalah cepat, siap-siap untuk pergi ke daerah. Selama setahun, dokter internsip bekerja di puskesmas dan rumah sakit layaknya dokter, namun masih dalam bimbingan dokter senior. Yahh tergantung wahananya. Di daerah yang kekurangan dokter, peserta internsip akan bekerja layaknya dokter tetap.

Hal yang cukup disesalkan dari program ini ialah penghargaan kurang bagi dokter internsip. Gaji bagi mereka ialah 2.5 juta/bulan, sebelum dipotong pajak. Padahal, banyak dokter internsip yang bekerka layaknya dokter umum dan bahkan banyak juga yang sangat diberdayakan karena jumlah dokter yang kurang. Memang setiap wahana memiliki kebijakan apakah mau memberikan insentif tambahan, tapi banyak juga yang tidak memberikan apa-apa. Bisa dibayangkan bagi yang mesti ke daerah, berarti harus menyewa kostan dan mencari makan sendiri: gaji 2.5 juta tidak akan cukup memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bagi saya, cukup menyedihkan sudah bergelar dokter namun untuk kebutuhan hidup sehari-hari masih harus disuport orang tua….

  1. Ke Depannya, Tahapan yang Harus Dilalui untuk Menjadi Dokter Sepenuhnya Terancam Menjadi 9 Tahun
Alur Pendidikan Kedokteran (sumber: http://www.slideshare.net/suhartimt/)

Alur Pendidikan Kedokteran (sumber: http://www.slideshare.net/suhartimt/)

Di Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sudah tertuang apa yang disebut dengan Dokter Layanan Primer (DLP) untuk memenuhi kebutuhan era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Di peraturan disebutkan bahwa dokter yang ingin bekerja di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS di tingkat pertama (seperti puskesmas, klinik pratama, dll) WAJIB menempuh pendidikan tambahan selama 3 tahun untuk menjadi DLP (setelah menjalani internsip). Artinya, jika ingin menjadi dokter umum yang praktek di klnik atau puskesmas, tahapan yang harus ditempuh ialah 5 tahun kuliah kedokteran, 1 tahun internsip, dan 3 tahun pendidikan DLP—total 9 tahun!

Bagaimana jika ada dokter yang tidak mau menempuh DLP? Dokter tersebut tidak berhak untuk praktek. Pilihan baginya ialah menjadi peneliti atau dosen (yang tidak praktek), ambil sekolah spesialis (yang rata-rata lama pendidikannya 5 tahun), atau jadi pedagang. Apakah selama sekolah DLP digaji? Ooo…tentu tidak. Jadi setelah capek-capek kuliah 5 tahun, sudah bergelar dokter, bagaimana caranya menghidupi diri dan anak istri? Yahh, silahkan pikir sendiri.

  1. Siap-Siap Sering Digambarkan Miring oleh Media atau Dituntut Hukum
investigasi tempo

investigasi tempo

Seberapa sering laman media kita dipenuhi dengan berita-berita miring tentang dokter atau rumah sakit? Berita tentang pasien ditolak dokter atau rumah sakit selalu menarik minat pembaca. Setelah ditelusuri lebih jauh, kebanyakan berita tersebut memberikan informasi salah: bukan pasien ditolak, tapi kamar rawat inap penuh, atau pasien belum melengkapi berkas Jamkesmas/BPJS, atau tidak memenuhi kriteria perawatan menurut standar BPJS, dll. Tapi media ga mau tahu: pokoknya dokter dan rumah sakit menelantarkan pasien.

Terbaru ialah pemberitaan dari Tempo tentang suap dokter. Kewajiban setiap dokter untuk update ilmunya dengan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah…dan untuk menyelenggarakan atau mengikuti acara ilmiah tersebut butuh biaya. Apakah negara mau membiayai? Jangan harap. Lalu dari mana lagi pembiayaan selain dari sponsor yaitu perusahaan farmasi? Namun sponsorship kegiatan ilmiah diartikan media sebagai gratifikasi.

Masih ingat kasus dokter Ayu spesialis kebidanan dan kandungan? Tidak ada prosedur yang dilanggar oleh dokter Ayu; kematian pasien terjadi akibat hal yang tidak diduga oleh dunia medis yaitu emboli paru. Tidak ada yang bisa memprediksi hal tersebut dan prosedur tetap sudah dijalankan oleh sang dokter. Tapi keberpihakan jarang kepada dokter. Media dan masyarakat lebih senang jika mendengar bahwa dokter melakukan malpraktik.

Jika menjadi dokter, bersiaplah untuk menghadapi hal-hal seperti ini.

  1. Waktu untuk Pribadi dan Keluarga Harus Rela Dikorbankan Demi Pasien
Dokter Operasi

Dokter Operasi (sumber: http://assets.kompas.com/)

Menurut saya, dokter ialah orang yang paling bisa memberikan excuse jika minimnya waktu yang diberikan untuk keluarga. Seorang pebisnis atau pegawai kantor banyak mendapat nasihat untuk mengutamakan keluarga karena mereka lebih berharga daripada pekerjaan. Tapi bagaimana dengan dokter? Bisakah menelantarkan orang sakit yang butuh bantuannya demi keluarga?

Dengan menjadi dokter, maka harus siap memiliki waktu yang sedikit untuk pribadi dan keluarga. Pun jika memiliki suami/istri/orang tua dokter, tidak perlu heran mereka pergi sangat pagi dan pulang sangat malam setiap harinya. Jaga malam, on call, dipanggil ke sana ke sini, operasi mendadak, kehangatan makan malam yang harus terganggu karena ada telepon dari RS, dll.

  1. Jangan Pernah Berpikir Ingin Menjadi Dokter Supaya Kaya
stethoscope-hand-money

Dokter dan Uang (sumber: http://www.cloudcontractmodeling.com/)

Kenyataan tidak seindah apa yang dibayangkan. Dokter internsip hanya bergaji 2.5 juta/bulan (belum dipotong pajak). Dokter umum, jika buka praktek pribadi atau bekerja di RS, pemasukannya standar gaji pegawai kantoran

Penghasilan lebih besar bisa didapat jika menjadi dokter spesialis. Kesan elegan dan berduit mungkin melekat pada dokter spesialis. Tapi tidak juga. Di era BPJS ini, jasa medis sangat sangat kecil untuk dokter spesialis. Biaya operasi yang normalnya memakan biaya belasan atau puluhan juta, hanya dihargai tidak sampai sepuluh juta oleh BPJS. Jika JKN teraplikasi sepenuhnya, maka praktek dokter spesialis ga akan laku: semua pasien harus ke praktek umum dulu dan meminta rujukan untuk menghadap dokter spesialis. Kalau mendapat pasien, ya tadi, jasa medis amatlah jauh dari ekspektasi. Kita belum berbicara proses sekolah dokter spesialis yang mahal, lama, dan sangat berat….

Percayalah, jika niatnya supaya banyak uang, lebih baik menjadi pengusaha. Sangat disayangkan jika seluruh tantangan di atas dihadapi hanya demi uang.

Jika telah membulatkan tekad ingin menjadi dokter, niatkan lah karena memang memiliki passion di profesi kesehatan, atau karena memiliki niat beramal sesuai dengan profesinya, atau karena ingin melihat senyum pasien yang telah berhasil diobati.

Jika memiliki niat mulia, maka kesulitan-kesulitan seperti yang disebutkan di atas, insyaAllah, akan dapat dilewati dengan senyuman.

Categories: gumam sendiri, kesehatan | Tags: , , , , , , | 58 Comments

Blog at WordPress.com.