Kesederhanaan dan Legenda

“Well-behaved women seldom make history.”

Begitu tulis Laurel Thatcher Ulrich dalam paragraf pertamanya. Tak lama, pernyataan profesor Harvard ini menjadi begitu terkenal, layaknya kampanye transformasi kaum wanita.

Di antara kita mungkin terpana, atau mengangguk mengikuti gerakan semesta, atau bertanya-tanya: benarkah demikian?

Sejarah adalah sesuatu yang dikenang, atau ditulis tentang masa lampau yang begitu berserakan dan kompleks. Tak mungkin semua kisah klasik diceritakan kembali, bukan? Meskipun, catatan sejarah adalah sesuai kehendak perekamnya, begitu dinikmati kaum muda di masa depan, walaupun terkadang kerumitan ini terkadang perlu ditelaah kembali kesahihannya.

Ada kecenderungan yang sama dalam pencatatan sejarah, yaitu bahwa hanya peristiwa-peristiwa besar atau orang-orang besarlah yang mengisi halaman-halamannya. Berapa banyak artikel yang mengisahkan keberanian Alexander yang agung? Atau Julius Cesar yang ekspansif, begitu juga Genghis Khan? Atau Harun Ar-Rasyid yang cerdas, Salahudin yang mengerikan, atau pula Kaisar Napoleon yang berasal dari keluarga biasa? Cukup ketik di mesin Google, dan berderetlah berbagai situs yang mengagung-agungkan nama mereka.

Padahal, jejak sejarah tidak hanya diciptakan hanya oleh seorang, tapi ratusan bahkan ribuan hingga jutaan orang terlibat di sana. Akankah tumbuh kemegahan budaya Yunani tanpa para pasukan yang berbaris bersama Alexander? Tahukah kita salah satu penyebab jatuhnya keperkesaan Napoleon adalah kebosanan para pasukannya dan tewasnya para jenderalnya satu per satu? Masih bisakah kita nikmati kuburan para Fir’aun dalam bentuk piramid tanpa keringat para babu murah yang dipecut setiap harinya?

Memang tak pernah mungkin menulis nama mereka semuanya. Ribuan halaman takkan cukup. Sehingga, timbul kekaguman kita kepada para penggedor, pemberontak kebiasaan, orang-orang yang lain daripada yang lain. Begitu juga wanita. Banyak tulisan yang memuat ratu perawan Elizabeth, atau Ratu Isabella yang membumihanguskan kaum muslim di Spanyol, atau Joan D’Arc sang ksatria wanita Perancis, atau Helen Keller yang aktif menyuarakan hak wanita untuk memilih, atau Barbara Ward yang pidatonya menggebu-gebu tentang kemiskinan di negara ketiga, atau Kartini yang terkenal akan tulisan tentang kegalauannya. They aren’t well-behaved women.

Para penggebrak, jasad mereka telah lama tiada, namun sosok dan pemikiran mereka bagaikan kulit pohon yang tak pernah rontok. Mereka adalah legenda. Namun, ke manakah para prajurit, para budak, para wanita yang mengabdi di rumah melayani suami dan anak-anak mereka? Seolah fisik dan buah pikiran mereka berhenti di sana. Selesai, titik.

Akibatnya melahirkan orang-orang yang sengaja menjadi tak biasa agar terceritakan antargenerasi, seperti Kusni Kasdut yang percakapannya dengan Kusno Kasdut terkisah dengan baik.

“Mengapa kau lari dari penjara, Kusni?”

“Karena aku mau membikin sebuah legenda, Kusno”

“Legenda, sejauh itu?”

“Tak terlampau jauh, negeri ini telah lama menunggu sebuah legenda baru. Dan aku telah lama berjalan, dalam kelam yang panjang, untuk memberinya. Aku merampok. Aku membunuh. Aku melawan. Aku juga melawan dengan minggat dari bui…..Orang-orang pun dengan mata bersinar menyaksikan dari jauh sebuah legenda—sebuah dongeng mengasyikkan tentang penjahat ulung yang tidak cuma itu-itu juga.”

“Itulah sebabnya kau bersedia jadi tokoh novel biografi, dengan kemungkinan akan dibikin film?”

“Persis.”

“Kau memang picisan, Kusni—seperti Eddy Sampak. Orang ini juga perampok dan membunuh 6 orang sekaligus, lalu lari, berharap kisahnya akan dibuat film seperti cerita Mat Pici.”

……

Lalu, apakah bukan mereka manusia sederhana yang berkesempatan menjadi tinta emas sejarah?

Tapi, kita pun mengenal sosok Muhammad yang sangat sederhana hidupnya, tapi sulit untuk membantah bahwa beliau merupakan legenda nomor satu. Atau sahabat-sahabatnya yang bukan siapa-siapa namun tercatat secara jernih dalam sirah (setau saya, hanya sirah nabawiyah yang mengagungkan keluhuran karakter orang-orang nomor dua selain pemeran utama). Atau The Well-Behaved Women: Khadijah, Aisyah, Al Khansa’, Sumayyah binti Khayyat. Kisah mereka begitu diulang-ulang.

Ada garis yang bisa ditarik antara sejarah, legenda, dan kesederhanaan. Bahwa sejarah menceritakan para legenda, yaitu mereka yang hidup layaknya manusia sejati. Jika hewan ditakdirkan hidup hanya untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri, adalah wajar. Namun manusia memiliki misi yang agung, dan luas hingga ditugaskan untuk memimpin planet bumi.

Begitu juga pahlawan, adalah seorang yang biasa dan duduk-duduk dengan santai. Lalu pun tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan sekitar, kemudian bangkit dari duduk-duduk santainya. Dan bergerak dan mengajak yang lain, tapi ditertawakan. Hingga perubahan telah diciptakan oleh sang pahlawan, dan orang-orang yang tadinya menertawakan pun satu per satu mengikutinya.

Masa lalu adalah satu hal, dan sejarah adalah satu hal yang lain. Isi buku sejarah dapat dituangkan sesuai kehendak perut penulisnya. Jika niat dan amal tulus kita tak direkam sedikitpun oleh sejarawan, toh selalu ada yang mencatat kisah hidup kita dengan detil—sangat detil—oleh malaikat di kanan dan kiri yang tunduk dan patuh.

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Infithaar 82: 10-12)

 

 

*sedikit tulisan mengisi kelonggaran waktu

Categories: gajelas | Leave a comment

Post navigation

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.